SANG PENDOSA


 

       Senja memerah, pertanda sore beranjak malam, gundukan tanah di makam  yang baru nampak di permukaan, aroma bunga melati masih semerbak, kelopak  bunga mawar  merah dan melati yang layu  mengering di atasnya. TPU Rawan Sangit, menyimpan rahasia pembunuhan atas seorang wanita malang, yang ditemukan mati  tragis di pinggir sungai Lajuan, Surabaya timur, dengan kondisi kaki yang diikat tali rafia, bekas jeratan berwarna merah kehitaman tampak di sekitar  leher, lidahnya menjulur panjang, matanya meloitot seperti melihat kekejaman pelaku yang telah  membunuhnya dengan sadis. Kulitnya yang putis mulus semasa hidup, kini tak utuh banyak bekas  luka gigitan, jenasah Serunii terbujur kaku, mengundang tanya, pada setiap orang-orang yang mengevakuasinya. Beberapa polisi berdatangan mengamankan tempat kejadian, memangil mobil ambulan untuk divisum , menanyai beberapa saksi yang melihat kejadian pertama kali, dan memasang garis polisi di sekitar tempat itu. Tiga anjing pelacak menyebar mencari bukti-bukti yang tertinggal di lokasi kejadian, jejak pembunuh  Mayat tak bernyawa tanpa meninggalkan indentitas sedikitpun Foto yang disebar untuk mengungkapkan indentitas korban. Waktu terus berjalan, 1 x 24 jam, membawa hasil yang cukup baik, keluarga korban yang kehilangan anggotanya, baru terungkap. Ternyata wanita itu bernama Seruni, anak gadis Parto, yang hilang 5 hari lalu. Kondisi jenasah yang menggenaskan, tubuhnya yang membengkak, membuat trauma seluruh keluatga yang ditinggalkannya. Misteri pembunuhan yang belum terungkap, kemarahan keluarga dan warga untuk menghukum sang pendosa setimpal sesuai perbuatannya.

      Di rumah sederhana bercat putih, terlihat dipenuhi banyak orang melakukan tahlilan, mengirim doa pada Seruni. Pembacaan surat Yasin nyaring terdengar, 500 meter di bawah pohon pisang, sesosok wanita berpakaian putih berambut panjang, menatap tajam menyaksikan acara itu, arwah penaran yang bangkit dari kubur, membawa dendam kesumat, pada orang yang telah membunuhnya, mencari keberadaan sang pendosa, untuk menuntut balas.

     Pihak berwajib terus bekerja keras menemukan motif pembunuh dengan menyebar mata-mata, saksi yang terakhir bertemu Seruni, dan alat bukti yang ditemukan di lokasi kejadian. Parto dan Toyifah, istrinya yang berduka atas kehilangan putri tercintanya, tak luput dicerca pertanyaan oleh polisi.

     Rumah bercat kuning berjarak 100 meter, Surota, seorang laki-laki tua yang hidup sendiri, tanpa istri dan anak yang mendampinginya. Keringat dingin yang terus keluar, melalui rambut putih dari dahinya, rasa cemas dan takut berkecamuk dalam hatinya. Ia menatap langit-langit rumahnya yang gelap berdebu. Tiba-tiba muncul bayangan putih, yang terbang mendekatinya.

                        “Pergi, pergi sana, jangan dekati aku!

                        “Hi, hi . Mau kemana Suroto!. Dendamku belum terbalaskan”.

                        “Seruni jangan, jangan seruni!.

Bayangan putih yang terbang mendekati Suroto, yang saat ini berdiri di pojok dinding kayu ketakutan tampak jelas di wajahnya. Pancaran mata roh Seruni  tajam, bagai mata pisau yang siap menghabisi rang yang menghabisinya dengan biadab. Sepasang kaki yang berjalan tanpa menyentuk tanah.

                        “Rasakan ini Suroto!, kamu pantas mati!.

                        “Jangan!.

Suroto membuka pintu ruang tamu, anehnya daun pintu tak bisa dibuka, sepewreti terkunci dari luar. Tangan Suroto terus berusaha membuka, tapi tetap tak bisa. Roh Seruni bergerak mendekati Suroto, jari-jemarinya yang tajam dan panjang berwarna kehitaman menghunus bagai pedang ke arah leher Suroto. Kondisi yang mencekam, bingung bertindak apa, tanpa piker panjang ia menerjang jendela kaca dengan kedua kakinya melompat dan berlari kencang. Sayang belum terlaksana,  pecahan beling menusuk telapak kaki kanannya yang robek dalam dan berdarah, akibatnya Suroto jatuh tersungkur mencium tanah,  beberapa giginya rompal, darahnya  tercecer diman-mana. Suroto bangun, mengusap mulunya. Roh Seruni tertawa melihat Suroto, yang terus ketakutan. Ia berlari terbirit-birit di kehewningan malam.

                        “Tolong, tolong!.

Suara Suroto yang berteriak minta tolong, membangunkan para warga sekitar, untuk keluar  rumah.

                        “Toloongm tolong!.

                        “Ada apa Suroto, bewrhentilah.”

                        “Tolong saya, roh Seruni mengejar, tolong!.

                        “Roh Seruni?> mana dia? Saya tak melihat apa-apa”.

                        “itu, itu di atas pohon sawo, ia melihatku!.

                        “Ndak ada pak!.

Suroto mengusap keringat yang membasahi tubuhnya. Penampakan roh Seruni di atas pohon Sawo masih jelas terlihat dimatanya.(bersambung )

Surabaya, 5 September 2023

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

AYAH, MALAIKAT TAK BERSAYAP

SOTO PENGLARISAN