PENYESALAN TERBESARKU


 

Allah SWT sedang mengujiku dengan berbagai macam ujian berat,  badai dirumah tanggaku seakan tak habis habis datang silih berganti, meninggalkan luka, trauma mengingatnya. Suami yang tak mampu melakukan tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga. Ia jarang pulang, tak memberi nafkah untuk kebutuhan makan sehari-hari apalagi kebutuhan bathin. Aku berusaha mencari uang dengan berjualan gorengan keliling kampung, walau hasilnya tak dapat berharap banyak, paling sedikit, bisa makan dan menabung buat kelahiran calon anakku nanti.  

Tangisan bayi mungil  di RS. Suwandi melegakan segenap rasaku, menjadi seorang ibu, peluh bercucuran keluar dari dahiku, tak kuasa membendung air mata ini, ya Allah saat-saat ini aku butuh orang yang mendampingiku, memberi selamat atas kelahiran anak pertama, suamiku kemana kamu saat ini?. Aku membutuhkan dirimu.   Orang tuaku telah lama tiada, hanya mertua perempuan yang tak lagi memperhatikanku, karena hasutan-hasutan kebencian suami yang memprofokator, celakanya aku belum mampu meyakinkan mertuaku. Hanya doa-doa yang kupanjatkan belum mengubah pandangannya padaku, menantunya yang terlunta-lunta, sendirian menghadapi suami yang berperikemanusiaan.

Kulihat suster menggendong bayiku yang mungil, berkulit putih, berjenis kelamin laki-laki, sama persis dengan keinginan Radi. Nak, seandainya bapakmu melihat dirimu, pasti ia sangat bangga dan menyayangimu, memberimu nama, mengadzannimu. Andaikan situasi bersahabat denganku, kuhanya mampu menelan ludah, cobaan pahit ini harus kurasakan sendiri . Kuharus membesarkan anakku sendirian, ya Allah.

Aku tergolek lemah di atas tempat tidur kamar 301, suster mengawasiku mengechek kondisi tubuh. Di waktu yang sama kereta makanan datang masuk ke ruangan.

“Bu Sulami ini makan pagi di makan ya, sayur,lauk pauk harus dikonsumsi!.

“Baik sus”.

“Air susunya sudah keluar?

“Ada tapi masih sedikit”.

          ‘Bu, segera dimakan, ASInya biar lancar”.

          “Baik sus”.

 

      Hari pertama, kedua,ketiga di RS.Suwandi terasa lama, hari keempat waktunya pulang. Setelah melunasi biaya persalinan, aku pulang naik becak. Suami dan mertuaku tak datang menjemput aku dan bayiku di rumah sakit. Meski masih nyeri dan sakit untuk berjalan dan menggendong bayiku menyusuri jalanan gedung  rumah sakit dan menyebrang mencari dan  naik ke atas becak.

     30 menit perjalanan, akhirnya sampai rumah, yang masih tertutup, apakah Radi dirumah? Kucoba mendorong daun pintu, ternyata tak terkunci. Terlihat Radi masih tertidur di sofa tamu. Bayiku yang masih tidur, kuletakkan di kursi panjang.Suara dengkuran Radi terdengar sampai ke telingaku, Emosiku langsung memuncak melihat dirinya yang keenakjan tidur.

          “Radi, tega sekali kamu membiarkan aku ke rumah sakit sendiri!.

          “Radi bangun!, bangun. Lihat anakmu ini, bayi laki-laki.

          “Itu bayi siapa, anakmu dari pacarmu bangsat!.

          “Ini anakmu Radi, darah dagingmu. Lihatlah bayimu Radi.

          “Setan alas, membangunkan orang tidur. Sini bayimu kubunuh!.

Aku kaget melihat Radi yang tiba-tiba menghunus pisau di tangan kanannya. Kupeluk bayiku yang masih tidur.

          “Jangan lakukan itu, jangan !. Radi ini anak kita!.

          “Siapa bilang ini anak kita? Orok ini harus dibunuh, minggir!.

Tangan kanan Radi memukul kepalaku, membuat bayi yang kupegang terpelanting jatuh di bawah lantai. Kepalaku terasa sakit , kuberdiri terhuyung-huying.Bayiku yang masih merah, berteriak kecil dan tak bergerak.

          “Bayiku, bayiku tolong!.

     Radi kesetanan dan menarik selimut bayi, membuat bayi tak berdosa jatuh kedua kali. Aku terkejut segera kupeluk bayiku yang terkulai lemas, tak terasa  denyut nadinya.Aku menjerit sejadi-jadinya. Serasa dunia tak adil denganku. Aku menangis tak tahan melihat bayi yang baru lahir harus mati di tangan suamiku sendiri. Ya Allah ampuni suami.

          “Nak, bagun nak! bayikuu!. Tolong bayiku!.

          “Ha, ha, ha, mampus kau!.

          “Menjijikkan, kau bunuh anak kita”.

          “Biar, biar mati sekalian.

          “Bangsat ! Radi.

       Kutarik tangan kanannya, berhasil menjatuhkan pisau yang dipegang dari  tangan Radi, Aku langsung mengambilnya, cresh…cres leher Radi, kusabet pisau dan darah muncrat mengenai pipiku.

          “Kurang ajar beraninya, kau Sulami!.

      Kaki Radi menendang perutku dengan keras. Aku tersungkur di lantai , Tangan Radi menarik rambutku, dan membantingnya ke lantai  yang  tercecer tetesan darah leher Radi. Sakit dan pusing yang kurasa saat ini. aku tersadar dan segera memegang ganggang pisau, kutancapkan ke perut Radi.

          “Aaaaaaaaah, aduh aaaaaaah sakit!

          Kau kira hanya kamu yang bisa, rasakan pisau ini!.

        Radi lemas kehilangan darah, pelan.-pelan diam tak bergerak. Nafasku memburu dan menangis melihat suami dan bayiku meninggal tragis. Ya Allah kenapa jadi begini, Kututupi wajahku dengan tangan yang belepotan darah. Sesak rasanya dada ini, ingin meledak.  Apa yang telah kulakukan. Radi, bayiku telah kehilangan nyawanya. Menyesal, tapi mereka tak akan hidup kembali. Ya Allah ampuni aku, ampuni dosa-dosa yang kullakukan. Aku masih terduduk di dekat mayat suami dan bayiku. Aku menyesal.

 

Surabaya, 10 Oktober 2023.

 


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

SANG PENDOSA

AYAH, MALAIKAT TAK BERSAYAP

IBU, SI PEMBUKA PINTU SURGA