SANDARAN TERNYAMAN


 

        Tepat di bawah rindangnya  pohon  kamboja, batu nisan putih bertuliskan nama Siska, istriku yang meninggal 1 bulan lalu terbaring tak bernyawa untuk selama-lamanya. Kematiannya membawa duka yang teramat dalam, Siska, sandaran ternyamanku di dunia.

      Langit berwarna  mendung kehitaman, tak kulihat cahaya putih  sebagai penerang hidup, semangatku yang redup  tak  mampu bangkit menerima  kodrati Illahi, semenjak nafas terakhir Siska meninggalkan dunia ini. Andai aku mampu memutar waktu, kejadian  naas itu tak akan terjadi. Peristiwa kebakaran yang melalap habis barang  seisi rumah dan Siska, dalam wakti singkat. Kejadian terjadi di sianng bolong, para tetangga kanann kiri yang tengah bekerja, hanya beberapa orang yang tinggal dirumah,  diperparah angin besar bertiup kencang  dan kuat, membuat api semakin membesar sulit dipadamkan Siska terjebak api ketika tidur di kamar. Adanya  konsleting listrik, menimbulkan percikan api  yag cepat merembet ke kain tirai, asap api melambung menuju sela-sela jendela  yang mulai menebal   membuat Siska tak dapat bernafas kehabisan oksigen,  tubuhnya gosong, dan  sulit dikennali. Aku telah  kehilangan sesosok pendamping, sandaran ternyamanku. Siska, istriku tercinta.

        Jiwaku masih  tergoncang kehilangan istri dan rumah satu-satunya yang dibangun dari hasil jerih payah berdua,  ludes terbakar  tinggal puing-puing tanpa sisa. Aku mengunjungi rumah ibuku, yang tinggal sendiri di Surakarta. Hangatnya kasih sayang ibu, cukup membuatku terhibur, menenangkan hati dan pikiranku dari bayangan Siska.

      Rumah ibu yang sepi jauh dari keramaian, bertetangga dengan orang-orang  yang mempunyai solidaritas  tinggi, keramahan mereka bergitu berkesan.  Panorama alam  yang indah, buatku mulai betah berlama-lama tinggal berdua dengan ibu.

       Tak jauh dari rumah ibu, aku mengenal Rita, putri satu-satunya  pak RW pemilik sawah 4 hektar  dan  menjadim orang terpandang.  Rita  yang bekerja sebagai guru TK ,  senyumnya manis seperti gula merah, selalu enak di pandang. Rita yang telah mandiri membuat  ibu,  sangat menyukainya, dann bemaksud mennjodohkanku denganya. Tawaran menikahkan aku dengan Rita tak sekali dua kali beliau sampaikan, tapi berulang kali, rasanya aku tak mampu menolak keinginann ibu .  Rita yang menyukaiku  dan menerimaku apa adanya  . Jauh di dalam lubuk hati, aku masih  belum mampu menggantikan Siska, kenangan bersamanya tak pernah terlupakan.

        Cahaya rembulan menerangi malam tampak di jendela kamar, kumenatap langit yag penuh dengan jutaan bintang, hembusan angin yang lirih, menyapu wajahku. Pohon  kamboja kuning yang berdiri di sebelah kamarku, tercium wangi, aku tertegun dengan sesosok putih berambut panjang tiba-tiba melayang  mendekati pohon, begitu cepatnya telah  duduk di atas cabangnya

      Aku amati dan ternyata wajah perempuann berbaju putih adalah Siska. Aku coba menggusap kedua mata, seakan mimpi dan  kulihat kembali, dia Siska, istriku.

                   "Siska!, kamukah itu Siska"

"Hi,,hi,hi",

Sesosok putih wajahnya sama persis dengan Siska, hanya tertawa cekikian mirip kuntilanak. Aku bingung, antara mimpi tapi nyata. Mahluk putih itu, melayang-layang dan mendekatiku.

                   "Hai, siapa kamu?.

                   "Aku? Hi hi hi. Aku Siska".

"Siskaku? Kamu sudah meninggal. Jangan-jangan kamu setan".

"Pergi!.

"Hi hi hi"..

Kututup jendela rapat-rapat, rasa takut melihat penampakan wanita setan berbaju putih, ada rasa senang di hati  bertemu Siska, walau setan sekalipun. Malam itu pikiranku agak kacau, kubarigkan tubuh di atas kasur empuk, tidur terlelap.

         Suara gemuruh percikann air hujan yang turun dengan deras, aku terbangun dan membuka mata. Jam menunjukkan pukul 05.00, pagi ini masih terasa gelap. Hawa dingin yang masuk dari pintu kamar, menusuk tulang. tak kuat menahan rasa kantuk, mataku masih ingin terpejam, dan tertidur kembali.  Kesunyian pagi ini  terusik dengan suara panggilan ibu yang berteriak memanggil namaku.

                    "Yud, Yudi bangun Yud!, Rita, sudah menunggumu dari tadi".

                    "Ya bu sebentar!.

Buru-buru aku masuk kamar mandi, guyuran air membasahi tubuhku, segar sekali. Aku keluar kamar mandi membuka sedikit tirai ruang tamu, melihat Rita yang duduk di atas sofa.

                    "Hai Rit, udah lama menunggu ?.

                    "Lumayan Yud. Gimana khabarmu?.

                    “Ya beginilah. Kamu sendiri gimana?.

                    "Aku baik Yud. Kamu masih jomblokan?.

                    "Memanng kenapa, kok sering bertanya hal itu?.

                    "Kamu tahu, aku masih mennunggumu Yud, aku masih cinta".      

                    "Rita, sekali lagi maaf ya. Aku belum bisa move on dari Siska".

                    "Terus sampai kapan?

                    "Akupun tak tah"..

Wajah Rita merunduk mennahan kecewa. Kulihat, butirann air mata megalir di pipinya. Rasanya tak ingin menyakiti perasaan Rita, aku serba salah.  Kumemandang  wajah sayu Rita.

                    "Maafkann aku Rita".

                    ?Tidak apa-apa Yud. Aku terus menunggumu".

Rita memandanngku dengan tatapan sedih. Tak lama Rita berpamitan dengan aku dan ibu. Kuantar sampai pagar pintu depan, melihat wajah Rita yang muram menahan kekecewaan padaku.  Andaikan saja aku mampu move on dari Siska, si pemilik hati, mungkin aku bisa memberi ruang tersendiri untuk Rita. Hanya Siska, wanita satu-satunnya tempat sandaran ternyaman, yang kumiliki di  dunia  telah pergi untuk selama lamanya.

        Surabaya 16 Agustus 2022

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

SANG PENDOSA

AYAH, MALAIKAT TAK BERSAYAP

IBU, SI PEMBUKA PINTU SURGA