KEGIGIHAN BERBUAH MANIS


 


Siang ini matahari bersinar sangat panas, debu-debu bertebaran di pinggir jalan Kapasan dekat rel kereta api , wajahku tersapu angin, aku melihat orang-orang yang lagi makan di warung Nasi Campur , mereka lahap memakannya. Aku hanya menelan ludah, rasa lapar dan haus merajalela di perut dan tenggorakanku, sehabis pulang sekolah membawa sekotak peralatan semir sepatu.

                 “Pak, semir sepatu biar bersih dan mengkilap pak, murah”.

                 “Murah itu berapa?.

                 “Hanya Rp 5000,00 saja pak, dijamin sepatunya kinclong”.

                 “Iya nih, yang bersih!,

                 “Siap Pak”.

Senyumku mulai mengembang, Alhamdulilah ya Allah pelanggan pertamaku, dengan riang aku membuka kotak peralatan semir sepatu, dan mulai membersihkan permukaan sepatu dengan lap kain basah.

                 “Nak, namamju siapa?.

                 “Nama saya Jayadi Pak”.

                 “Masih sekolah?.

                 “Saya kelas 5 SD pak”.

Aku tersenyum menatap bapak berbaju biru, sorot matanya tajam melihatku.

                 “Jayadi, kamu kok mau nyemir sepatu, orang tuamu mana ?.

                 “Bapak saya sudah meninggal pak, maaf bapak namanya siapa?

                 “Nama saya pak Umar”.

Kedua tanganku terus mengosok sepasang sepatu hitam pak Umar,  Bau aroma nasi rawon tercium sampai di hidung, perut keroncongan sampai berbunyi, tenggorokanku mulai kering menahan haus,  keringat mulai bercucuran di sela-sela rambutku. 1 menit lagi sepatu pak Umar  akan selesai. Setelah mendapat upah semir sepatu nanti, ingin kubelikan makan, tapi uangnya pasti tidak cukup, upahnya hanya cukup buat beli es teh. aku ingin makan nasi rawon dan es teh manis, membayangkannya betapa sedapnya makan menu itu.

                 “Jayadi, sudah selesai menyemirnya?.

                 “Ini Pak, sudah selesai”.

                 “Ini saya kasih Rp 10.000,00, sisanya untuk kamu, sekolah yang rajin ya”.

                 “Terima kasih Pak”.

Mataku berkaca-kaca menerima upah semir sepatu dari pak Umar. Seandainya ayah masih hidup, beliau tak akan membiarkan aku menjadi tukang semir sepatu untuk membantu ibu mencari sesuap nasi dan biaya sekolah, ah ayah mengenangmu rasanya ingin menjerit hati ini  menahan rindu yang menyesakkan dada. Takdir telah memanggil ayah.

Sejak kecil aku terbiasa dimanjakan dengan kemewahan, bersama ayah dan ibu dunia terasa lengkap, sayang ayah mempunyai sifat temperamen, sering marah dan memukul bila tak sesuai dengan kemauannya. Ibuku berusaha sabar menuruti kata-kata ayah, walau sering kulihat ibu menangis sendiri di kamar.

Ibu, malaikat kami  yang nyaris tanpa cela, ibuku selalu mengalah bersama ayah, ia  cekatan dan manusia paling sabar di dunia. Ibu menghabiskan hari-hari menjaga aku dan ketiga adik dengan baik. Ibu tahu yang terbaik untuk anak=anaknya, ia mendidik ilmu agama, bersama menjalankan sholat, secara rutin  mengajarkan  membaca ayat suci al quran. Dunia  ayah tak  sebaik ibu, ia mampu  memperkerjakan 4 orang PRT (Pembantu Rumah Tangga) untuk membantu tugas ibu,  rumah bak istana mewah, di garasi ada 5 mobil, dan ayah memiliki 4 rumah mewah yang terletak di kawasan elit Surabaya.  Tak heran ayah mendapatkan kekayaan itu dari pekerjaannya sebagai rentenir. Ayah meminjamkan uang dengan bunga tinggi. Ayah memperkerjakan  beberapa debt collector yang berpenampilan tinggi, besar dan garang. Para debt collector bergaji tinggi, tugasnya menagih utang dengan cara yang keji, tak jarang memukul dan melakukan kekerasan  pada orang_orang yang bandel membayar tak sesuai waktu, mengasak barang yang ada di rumah, jika sampai deadline waktu yang dijanjikan tiba dan  masih belum membayar juga , tak segan para debt collector menyita rumah  seisinya. Tangis dan jeritan mereka yang rumahnya di sita paksa tak membuat para debt collector tersentuh hatinya, mereka menertawakan  dan pergi  berlalu.

Hal serupa terjadi berulang kali, sampai ayah harus berurusan dengan pihak kepolisian, karena para korban (si peminjam) tak terima rumahnya di sita . Anehnya lagi-lagi ayah tak tersentuh hukum alias kebal hukum, harta ayah kian hari kian banyak saja. Kadang ibu sering protes dan menasehati ayah untuk berhenti  kerja sebagai rentenir, tapi ayah mengancam, membuat ibu takut dan tak berani bila melihat kemarahan ayah. Ini membuat para tetangga kiri kanan membenci keluarga kami. Memang tak enak tapi bagaimana menyadarkan ayah.

Roda kehidupan terus berputar kadang di atas, kadang di bawah suatu hari ayah jatuh sakit, ibu bilang ayah terkena santet. Penyakit yang di derita ayah sangat jarang terjadi,  di sekujur kulit ayah keluar bintik-bintik merah, telinga ayah bengkak sebelah. Ayah tiba-tiba menjerit histeris  sambil memegang leher melotot matanya. Paha kiri ayah tiba-tiba ada luka dan keluar nanah sangat bau. Ibu membawa ayah untuk berobat le rumah sakit medis, anehnya diagnosa dokter, tak ada bakteri dan virus yang menyerang tubuh ayah, ibu terheran-heran tak percaya. Ibu mencari alternatif rumah sakit lain, setelahnya. Mobil ambulan membawa ayah ke 5 rumah sakit yang berbeda di Surabaya dan 2 rumah sakit di luar kota, Malang dan Jember.  Di rumah sakit Jember, ayah dirawat inap sampai 1 bulan lamanya, biaya rawat inap yang tinggi dan menggunakan dokter-dokter spesialis, yang tak murah.

Perawatan di rumah sakit Jember, yang cukup dalam merogoh uang saku ibu, pelan-pelan telah mengurangi aset rumah dan mobil, tak ada obat yang bisa menyembuhkan penyakit ayah, hanya diberi suntikan anti biotik dan mengurangi nyeri di tubuh ayah. Sayangnya di ruang perawatan kondisi ayah masih lemah tak mau makan dan   belum menunjukkan tanda=tanda sembuh.

Ibuku tak kekurangan akal,  langsung membawa ayah berobat non medis. berobat ke 8 dukun sakti yang mengaku bisa menyembuhkan penyakit ayah, setelah melakukan terapi dengan ramuan obat tradisional  berkaliu-kali ternyata  itupun masih belum membawa kesembuhan pada ayah. Kondisi tubuh ayah kian hari, kian memburuk. Ayah hanya bisa terbaring lemah di tempat tidur, mungkinkah ayahku terkena karmarnya sendiri ? Ya Allah beri kesembuhan untuk ayahku.

Satu tahun ayah menderita sakit parah, segala cara telah dilakukan ibu untuk mendapatkan kesembuhan ayah. 5 rumah, semua mobil telah ludes  terjual, untuk berobat ayah. Semua yang dilakukan ibu, tak mendatangkan kesembuhan, air mata kesedihan sering tampak di wajah ibu.

Rumah mewah yang dulu penuh dengan perabotan mahal. kini habis tak tersisa, banyak yang dijual untuk menutupi kebutuhan, rumah yang kami tempati terancam terjual karena harus membayar biaya hidup, perawatan ayah yang sangat mahal. Ternyata Allah lebih sayang ayah, 24 Mei 2003, beliau meninggal dunia. Para tetangga tak banyak yang hadir mengurus pemakaman ayah, hanya pak RT dan wakilnya yang nampak datang dan mengucapkan bela sungkawa. Ayah, ayah, ayah kami butuh ayah, jeritku  ibu, ketiga adikku. Ibu berusaha mengiklaskan kepergian ayah, ibu pula yang menasehati kamu untuk bersabar dan menerima takdir ayah.

Ibu, aku dan ketiga adikku, Nikma, Siti dan si bungsu  Rukmini, menempati rumah kontrakan ukuran 5 x 4 meter . Sepeninggalan ayah, kehidupan kami mulai nol lagi, jauh dari kata kecukupan, tapi kekurangan. Ibuku, Sulastri harus membanting tulang mencari nafkah untuk kami berempat. Aku salut dengan kegigihan ibu, mencari rejeki dengan berjualan makanan ringan di emperan rumah sambil menjaga anak-anaknya, tapi hasilnya tak mencukupi. Aku dan ketiga adikku masih sekolah dan butuh biaya yang tak sedikit.

Melihat kondisi ini, aku tak bisa diam, kasihan melihat ibu, dan adik adik, mereka butuh makanan sehat dan uang saku untuk sekolah,  ingin membantu, mencarikan uang tambahan yang bisa kukerjakan sehabis pulang sekolah. Menjadi tukang semir sepatu adalah caraku untuk mengais rejeki. Awalnya ibuku ragu, tubuhku yang kecil harus panas-panas menyemir sepatu, setelah rmelihat kesungguhanku, beliau sampai meneteskan air mata, terharu dengan semangat yang kumiliki. Ibu memintaku untuk sekolah dan belajar saja sampai selesai, tapi aku telah berjanji untuk giat belajar untuk meraih masa depanku dan ketiga adikku. Ibu mengangguk tanda setuju, aku memeluk tubuhnya, damai sekali rasannya ..

Hari-hariku sepulang sekolah, langsung ke rumah untuk ganti baju dan membawa kotak semir sepatu, bersepeda ke jalan Kapasan untuk mencari pelanggan yang ingin membersihkan sepatu yang kotor menjadi bersih dan bersinar. Awalnya memang takut tak mendapat order semir sepatu, malu jika terlihat teman satu sekolah, yang bisanya hanya mengolok. Aku berusaha mengatasi rasa itu dan banyak membaca sholawat seperti ajaran ibu, Allah SWT akan membantu hambanya. Rejeki yang kucari adalah halal. Meski mendapatkan upah sedikit jika pandai bersyukur, maka Allah akan menambahnya berlipat-lipat, aku percaya itu.

Dari uang 10.000,00 sampai Rp 100.000 hasil yang kudapat per-hari, membuatku terus belajar menjadi semir sepatu  ke tukang sol sepatu yang mahir , menjahit sepatu

 rusak jadi bagus kembali. Hasil yang kudapat sebagian untuk kebutuhan dan sebagian kutabung agar mendapatkan dana demi mengembangkan usahaku kelak. Ibu, dan ketiga adikku tak tahu menahu soal itu, semoga tercapai semua jarapan dan doaku.

Aku banyak belajar dari teman-teman seprofisiku. Siang yang panas menyengat kulitku yang gelap kecoklatan, kadang kehujanan, di kejar satpol PP adalah hal yang biasa terjadi, aku tak cengeng, badanku boleh kecil, tapi aku mampu menata masa depanku. Aku telah mengarunggi perjalanan yang keras demi memperjuangkan keluarga dan meraih cita-citaku, menjadi seorang dokter hewan, karena aku suka meneliti dan merawat kucing dan kura-kura fi rumah. Kuyakin dengan usaha dan doa ibu, Allah SWT akan mengabulkannya.   

\Seminggu, sebulan dan satu tahun berlalu, aku telah terbiasa bekerja sehabis pulang sekolah. Bila melihat teman lain yang berangkat dan pulang dijemput bapak/ibu mereka ada rasa kecemburuan yang terselip di hati. Mengapa hidup temanku lebih enak dari pada aku, mereka cukup kasih sayang orang tua yang utuh,  santai bisa belajar, makan makanan lezat , punya waktu banyak sehabis pulang sekolah. Sedangkan aku, harus bermandi peluh bersepeda sendiri,  mengais rejeki sampai malam hari, beristirahat sambil belajar dan menyiapkan buku pelajaran untuk esok hari. Mungkin Allah telah menggariskan takdir, jodoh dan rejeki setiap orang berbeda, berbaik sangkalah pada kehendak Allah SWT dengan apa yang di alami.

Waktu terus berjalan begitu cepatnya, tabungan yang kumiliki semakin banyak, cukup untukku mengembangkan usaha, dengan mengontrak rumah menjadikan sebuah  galeri yang bernama, “Sepatu Tak kasih murah”. di pinggir jalan Raya Kenjeran , memperkerjakan 6 karyawan dengan bagian yang berbeda,  perbaikan sepatu, semir sepatu dan menjual sepatu sport, sepatu kerja dan sepatu khusus  wanita. Dengan pengalaman yang kupunya, usaha galeri sepatu, mulai berjalan.

Meraih kesuksesan tak semudah membalikkan telapak tangan, butuh perjuangan gigih agar berbuah manis, Walau sempat mengalami pasang surut, galeri ini aku tetap bertahan, dan terus kerja keras melayani pelanggan dengan sabar. Aku tetap bekerja dan kuliah di UNAIR Surabaya mengambil jurusan dokter hewan. Memang biayanya tak sedikit, tapi jerih payah yang terus kutabung mulai SMU, hingga semua biaya pendaftaran dan perkuliahan bisa teratasi dengan baik.

20 tahun berlalu ayah relah meninggalkan kami berlima, aku, ibu dan ketiga adik kembarku Nikma, Siti dan  Rukmini yang telah beranjak dewasa, dan  lulus SMA, Banyak keajaiban telah menjadi kenyataan, hal yang tak mungkin terjadi bisa terjadi, asal ada kemauan dan kegigihan untuk meraihnya, doa ibu yang melancarkan memudahkan cita-citaku jadi nyata, kegigihan berbuah manis.

 

Selesai

 

 

 

                 <

 

 

 

 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SANG PENDOSA

AYAH, MALAIKAT TAK BERSAYAP

IBU, SI PEMBUKA PINTU SURGA