MENGEJAR BAYANGMU (Bagian ke 1)
Rejeki, takdir dan jodoh memang kehendak Allah SWT, manusia hanya mampu menerimanya. Demikian juga yang terjadi pada Fandi. Dua hari lalu, tepat tanggal 23 Maret 2022, terakhir aku bersamanya. Fandi membelikanku cincin permata, hari ulang tahunku, sebagai bukti ikatan cinta kami berdua,
Tanggal 24 Maret, aku kehilangan kontak, hpnya tak bisa dihubungi, baik melalui whatsapp dan tepon biasa. Fandi bagai hilang ditelan bumi. Aku mencari informasi keberadaan. Kuhubungi teman-teman dan keluarganya, sayang tak ada yang tahu. Sulasih ibu Fandi malah menanyakan keberadaan Fandi padaku. Ingin rasanya menjerit keras memanggil Fandi !, kemana engkau kini, jangan biarkan aku bingung, sedih menyendiri Fandi.
Kubaringkan tubuhku di atas ranjang, pikiranku hanya fokus pada Fandi, Fandi dan Fandi di otakku. SMS dan video call tak dijawab sampai 10 X, aku bingung. Lelehan air mata jatuh di pipi, menangis, rasa rinduku pada Fandi, Ya Allah kemana harus kucari. Belum sempat kuberfikir, tiba-tiba terlihat kilatan cahaya terang nampak jatuh di luar jendela. Aku bangkit dan melihat di kaca, muncul mahluk terbungkus kain kafan putih, terikat kepalanya dengan tali, pocong dan wajahnya. hanya terlihat separuh saja, bagian lain seperi mata, hidung sebelah kanan rusak dan berdarah, mirip seseorang yang kukenal, Fandi!! Apakah pocong itu Fandi?. Tanpa pikir panjang aku berteriak,
“Fandi ! apakah itu kamu Fandi!.
Pocong itu mirip Fandi, tiba-tiba melompat lenyap dihadapanku. Antara mimpi dan nyata, kupukul pipiku berkali-kali, ternyata benar ini nyata, bukan mimpi. Rasa takut mulai menjalar di pikiranku, selimut putih panjang di samping bantal, kutarik menutupi kedua kaki, dan mencoba tidur. Belum sampai 5 menit telingaku menangkap suara bisikan memanggil-manggil namaku. suaranya dekat, seolah berada di samping tempatku berbaring
“Tia, ini aku Fandi, Bukankah engkau tadi mencariku!.
Jantungku terasa copot mendengar bisikan itu, suaranya seperti suara Fandi. Kucoba membuka mata, tapi tak ada seorangpun dikamar, kecuali aku. Tak lama kudengar nada dering dari hpku, dan kuangkat ternyata Sulasih, ibu Fandi yang menelpon.
“Tia, maaf malam-malam ibu telpon kamu nak. Yang sabar ya”.
“Iya bunda ndak apa-apa, ada apa? Ada berita tentang Fandi?.
“Tia, Fandi ..”
“Fandi, kenapa bun?.
“Fandi meninggal, dibunuh Tia”.
“Innalilahi wa inalilahi rojiun kapan meninggalnya?.
“Tanggal 24 Tia, hanya organ tubuh tangan dan kaki yang ada".
“Ya Allah, siapa yang membunuhnya bunda?.
“Polisi masih mencarinya Tia”.
“Fandi! kenapa harus begini.
Tangisanku meledak mendengar kematian Fandi, kepergiannya begitu cepat, mungkinkah arwahnya penasaran? Fandi ingin memberitahuku. Pikiranku kacau tak karuan, badanku lemas tak bertenaga, Hp kutaruh di atas meja kamar. berbaring kembali. Ya Allah mengapa laki-laki sebaik Fandi harus mati tak wajar, apa salahnya Ya Allah?.
Malam semakin larut, jam menunjukkan pukul 24.00, perasaan sedih dan emosi berkecamuk, siapa pembunuh Fandi, masih misterius, menjadi pertanyaanku. Mataku sulit terpejam, aku terus berusaha menutup mata, lagi-lagi bayangan Fandi, seolah datang di depanku dan tersenyum. Aku menarik nafas dalam-dalam, menangis dan menangis lagi, air mataku telah membasahi bantal, yang kupeluk pelampiasan rasa sedih ini. Bagaimana caraku menghapus jejakmu Fandi. Aku hanya mampu mengejar bayangmu yang hilang di muka bumi ini. Kututup mataku rapat-rapat dan mencoba tidur kembali.
Sampai esok pagi ketukan keras di pintu kamar, membuatku terbangun. Ibu terus memanggil-manggil namaku dengan keras.
“Tia, Tia ayo bangun Tia!.
“Iya bu, sebentar”.
Setengah berlari kubuka kunci kamar, terlihat ibu yang masih berdiri menunggu.
"Tia, kemana Fandi, 2 hari belum nonggol? kamu ada masalah?.
"Bu, Fandi sudah meninggal, dibunuh".
"Apa!. Ya Allah, innalilahi wa inalilahi rojiun".
Ibu menutup mulutnya, dengan tangan kanannya, Kupeluk tubuhnya, kesedihan terberat kutumpahkan di bahu sambil sesegukan, air mataku terus membanjiri baju ibu.
"Fandi telah meninggal dibunuh orang 2 hari lalu".
"Tia, sabar ya nak, sabar'.
"Aku akan pergi ke rumah Fandi bu".
"Iya nak, ibu ikut ya".
Tak seberapa lama, kupakai baju dan kerudung warna hitam, telah bersiap-siap berangkat ke rumah Fandi, bersama ibu, laju montorku kupercepat, ingin segera sampai, melihat Fandi, yang segera dimakamkan.
Kusampai di rumah besar bercat putih, berbendera putih merah, tampak beberapa karangan bunga berjejer di sebelah kiri. dan beberapa orang berdesakan, berbela sungkawa dan melihat mayat Fandi tertutup kain kafan tanpa kepala. Aku dan ibu tersentak kaget melihat kondisi mayat Fandi. {bersambung}
Komentar
Posting Komentar