ARTI KEJUJURAN, TUKANG BECAK BERKAKI SATU


       

 

Siapa yang menabur mereka akan menui, peribahasa ini sering kali terdengar di telinga kita. Menabur biji kebaikan akan mendapatkan kemuliaan dalam hidup. Salah satu perbuatan baik adalah, mengutamakan kejujuran. Kejujuran seseorang tidak tergantung dari apapun profesi yang ia lakukan. Banyak orang yang mengaku-ngaku jujur, untuk menutupi topengnya, ingin mendapatkan pujian orang lain. Padahal kenyataannya, kejujuran dalam hidupnya  adalah  nol besar, tukang tipu-tipu, sikap dan berbicara bohong yang berpengaruh pada  kualitas hidup orang itu sendiri

. Tak banyak orang yang mau berbuat dan berkata jujur. Hanya segelintir saja, orang-orang yang  jujur di dunia.  Salah satunya adalah Sujono yang berprofesi sebagai tukan becak keliling. Arti kejujuran bagi Sujono di atas segala-galanya. Mulai berbicara,  bersikap dan berrsosialisasi dengan sesamanya. Sujono lebih mendahulukan kejujuran walau kadang kepahitan yang diterima.  Kejujuran itu kadang sakit, di pandang sebelah mata , karena tak semua maksud hati di nilai baik oleh seseorang. Inilah kisah Sujono, si tukang becak  berhati emas karena kejujurannya. 

  Siang matahari rasanya panas tepat di atas kepala,  sinar yang menyengat tubuhnya  membuat cucuran keringat membasahi baju, ia teruskan mengayuh becaknya , tak peduli debu-debu berterbangan . Sujono orang-orang memaggilnya, si tukang becak berkaki satu.

Hampir 20 tahun Sujono menekuni profesi ini. Berbekal kesabaran dan keuletan bekerja. mengayuh becak sebagai ladang pahala untuk mendapatkan rejeki yang barokah bagi istri dan anaknya.

Tahun 2020, cobaan hidup mendera Sujono,  peristiwa tabrakan yang membuat kakinya putus, tergilas roda truk sampai hancur,  saat membawa dua penumpang.   Hari itu adalah  hari terburuk Sujono. Sopir truk lari melarikan diri, tak bertanggung jawab. Jiyem membawa suaminya yang tak sadarkan diri,  berobat, karena luka di kaki dan lengan kanannya banyak keluar  darah, kondiei Sujono  sangat menghawatirkan . Menurut dokter tindakan operasi mengamputasi kaki Sujono  adalah satu-satunya solusi untuk menyelamatkan nyawa suami tercinta,

Roda kehidupan tak selamanya di atas,  sebaliknya kadang juga di bawah, operasi amputasi pemotongan kaki kanan Sujono, membuatnya  tak dapat berjalan normal,  Sujono harus berjalan kemana-mana  menggunakan 2  tongkat penyangga.   Saat   mengayuh becak yang berpenumpang, tak setiap orang mau diantar dengan orang yang cacat sepertinya,  mereka memilih tukang becak yang kondisinya normal.

 Menerima cobaan hidup dengan iklas,  Sujono terus berusaha agar tetap sabar.  Latihan- latihan fisik penyembuhan dilakukan, termasuk  menggerakkan  pedal menggunakan satu kaki,  bila tak terbiasa bisa-bisa Sujono  jatuh tak kuat menahan laju becaknya.   Untung Jiyem ada disaat suaminya terkena musibah itu. Kondisi  mental Sujono yang tak sehat, putus asa , terpuruk dengan keadaan yang menimpanya.  Jiyem dan kelima anaknya  bagai sebuah  obat dirinya untuk bangkit, bersemangat kerja seperti dulu. Semua peristiwa yang menimpanya   atas kehendakNYA, ia harus iklas dan bersabar menerimanya. Pernah terlintas untuk alih profesi mencoba pekerjaan lain sayangnya  Sujono tak punya keterampilan / keahlian untuk bekerja selain menjadi penarik becak.

Sepasang tongkat kayu  penyangga  yang membantu Sujono menggerakan kaki, membuat langkahnya  tak  jomplang, kuat, dan seimbang. Sujono harus membiasakan dirinya, berjalan menggunakan 2 tongkat. Memang tak enak dan berat memakai tongkat, tapi ini harus dilakukan  agar hidup normal, tak lumpuh serta mampu   beraktifitas sehari-harinya.

 Mendung hitam pekat, masih membayangi keluarga Sujono, Jiyem istrinya meninggal dunia  terinfeksi virus di selaput otak setelah 3 minggu  dirawat di rumah sakit., yang menelan biaya tak sedikit. Lengkaplah kesedihan Sujono, istri yang setia mendampinginya telah pergi untuk selama-lamanya.   Inilah yang membuat hatinya  sulit bangkit dari keterpurukan, Sujono yang jatuh bagai ketimpa tangga,  hanya berdoa  memasrahkan  diri dengan kehendakNYA, semua kejadian yang menimpa keluarganya membuatnya harus sabar dan berdoa memohon Allah SWT memberinya kekuatan dan ketabahan.

        Hari-hari yang terlewat begitu berat, Sujono, bapak dari 5 orang anak-anaknya  yang masih sekolah. Sutomo anak laki-laki pertamanya, yang masih duduk di bangku SMU islam kelas 3, Supeni, anak perempuan satu-satunya, duduk di kelas 2 SMU kejuruan, Sutikno dan Suparlan anak kembar yang masih  duduk di bangku SMP kelas 9, dan terakhir Sucipto  masih SD kelas 5. Meninggalnya Jiyem. istri belahan hatinya, ibu dari anak-anaknya, yang membantu perekonomian keluarga, mengurus rumah tangga, membekas dihati ke 5 anaknya. Mereka terbiasa dimanja oleh Jiyem, semua kebutuhan sehari-hari telah terpenuhi, karena Jiyem bekerja sebagai  guru kontrak di sekolah  TK tak jauh dari rumahnya.  

        Setelah Jiyem meninggal, praktis Sujono menjadi  bapak sekaligus ibu  yang mencari nafkah untuk dan mengurus keluarga.  Hasil jerih payahnya yang tak bisa dibilang cukup.  Sedangkan  kebutuhan keluarga  yang bertambah banyah. Sujono harus memenuhi kebutuhan makan sehari-hari dan membayar sekolah untuk kelima anaknya. Biaya yang tak sedikit, harus dipenuhi Sujone, ia ingin kelima anaknya sukses tak seperti dirinya.

Sujono menyadari keterbatasan dirinya, tenaga yang dikeluarkan untuk mengayuh becak tak sebanding dengan kondisi normalnya  dulu. Dengan kondisi  satu kaki, membuat Sujono harus pilih-pilih mengangkut penumpangnya.

 Pengeluaran rumah tangga yang terus membengkak, ditambah lagi Sutomo dan Supeni tak mau makan dengan lauk-pauk  seadanya, mereka berdua mau makan dengan ayam  dan nasi goreng saja. Sujono tak kurang-kurang menyadarkan anak-anaknya untuk memahami kondisi keluarga setelah meninggalnya Jiyem ibu mereka.  Hasilnya, Sutomo dan Supeni tak menerima kondisi itu, mentalnya jatuh, menjadi gila.

 

Beban di pundak semakin berat, Sujono bingung memikirkan keadaan Sutomo dan Supeni. Dengan terpaksa, Sujono menjual rumah, untuk menutup hutang dan mengontrak rumah ukuran kecil, bersama kelima anaknya. Kondisi ekonomi yang mulanya terbiasa enak, semua kebutuhan terpenuhi dengan baik, kini tak ada lagi. Kelima anaknya harus menerima kenyataan yang harus dihadapi.

Rumah kontrakan ukuran kecil dan sederhana, ditempati 6 orang bersama dirinya. Tak ada barang mewah yang nampak di rumah, uang hasil jual rumah,  hanya cukup membayar hutang, dan sisanya untuk menutupi kebutuhan  Untungnya  Sutikno, Suparlan dan Sucuipto yang mau membantu, menerima kondisi seadanya, menjadi tumpuan harapan Sujono , untuk tetap sekolah dan membantu merawat dua kakaknya yang sedang sakit.

Gerimis di  pagi ini, tak menyurutkan semangat  Sujono untuk menarik becaknya,  hujan lebat yang membasahi tanah, mengundang rasa lapar untuk makan. Tak ada uang sesenpun ada  di dompetnya yang tersisa. Sujono melewati  jalanan umum di pasar, seseorang melambaikan tangan. Wanita tua yang berdiri menunggu becaknya.

      “Pak, tolong antar saya ke toko emas Jewerly ya. Berapa ongkosnya?.

       “Ya bu, Rp 20.000 saja”.

      “Aduh mahalnya. Rp 15.000 ya?.

       “Jangan segitu bu”.

       “Ya udah Rp 20.000. Hati hati ya pak”.

Sujono tersenyum dan mengangguk pelan, hatinya senang menyambut pelanggan pertamanya. Sujono mulai mengayuh becaknya di pinggir jalanan yang ramai merayap, dia sangat berhati-hati menjalankan laju becak.

        30 menit perlananan yang di tempuh, toko emas Jewerly sudah ada di depan mata. Si wanita tua turun dan memberi ongkos dan berterima kasih pada Sujono, ia berjalan tergopoh-gopong menuju toko. Rejeki pertama uang Rp 20.000  berada di tangan kakannya, Sujono terus tersenyum sambil mengucap, Alhamdulilah.

Sujono meneruskan becaknya untuk berbelok kembali ke pangkalan pasar. Tiba-tiba pandangannya mengarah pada  tas mungil berwarna coklat, tergeletak di kursi jok becaknya. Sujono mengambil dan membuka tas coklat itu. Subhanaalloh, segebok uang ratusan dan lima puluhan ribu yang sangat banyak.Ya alloh, andai uang ini diambil, pasti keluarganya tak kekurangan. Andai uang di tas coklat ini miliknya, ia ingin mengobati dua anaknya yang sakit jiwa di rumah sakit. Uang ini milih wanita tua itu, Sujono harus mengembalikannya.

 Tanpa pikir panjang, ia mengunci becaknya di pinggir jalan, dan menggejar wanita tua itu, sayang gerak kakinya yang lamban memakai tongkat. Hingga salah satu sopir becak lain merasa  iba dan membantu  Sujono memanggilkan wanita itu.

        “Pak tolong panggikan , wanita itu. Tasnya tertinggal di becak saya”.

        “Baik coba saya panggilkan!.

          “Bu, ibu!.

         “Bu!.

 Tukang becak lain  membantu memanggil wanita itu. Mendengar suara teriak-teriak memanggilnya, wanita itu menoleh dan mendekati  Sujono dan kerumunan  para sopir becak yang  memanggil dirinya.

      “Ada apa pak?. ongkosnya kan sudah saya berikan?.

      “Bukan itu maksud saya. Ini tasnya ibukan?

      “Ya Allah tasku. Alhamdulilah. Tadi saya terburu-buru. Terima kasih pak!.

       “ Ya bu , lain kali hati-hati ya”.

       “Ya pak. Ini sedikit buat bapak, sebagai rasa terima kasih saya”.

     “Tidak usah bu, terima kasih, saya permisi dulu”.

      “Baiklah Pak, sekali lagi terima kasih “.

Sujono tersenyum meninggalkan wanita tua. Ada rasa damai di hatinya bisa mengembalikan tas yang bukan haknya. Semoga Allah SWT mencukupi kebutuhan keluarganya, dengan  rejeki halal dan barokah, Amin.

Surabaya, 15 Febuari 2023

 

 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

SANG PENDOSA

AYAH, MALAIKAT TAK BERSAYAP

IBU, SI PEMBUKA PINTU SURGA