Antologi Pasangan Hidup Bagai Sepasang Merpati
Rasa
Cinta
dihati
Mengelora
merasuk diri
Membanjiri
walau karang bersaksi
Mencintainya
adalah kebutuhan diri.
Mendampingi
setiap hari
Rindu
menghampiri
Lagi.
Kuat
Ikatan
suci
Bagai
sepasang merpati
Melagukan
rasa cinta kasih
Membina
biduk keluarga ini
Menjadi
sepasang kekasih
Saling
mengasihi
Diri
Kebahagiaan
hakiki tidak diukur dari materi, menutupi kelemahan pasangan dengan pakaian
yang selalu dikenakannya. Menerima apapun kondisi pasangan tanpa syarat. Hanya
cintalah yang melukiskan keindahan kehidupan.
Suami
adalah pasangan hidupku. Suamiku berpenampilan sederhana tapi mengesankan.
Walau gajinya pas-pasan tapi selalu membahagiakan aku dan ke dua anak laki-lakiku.
Kami sama-sama berwatak keras, suamiku selalu mengalah dan terus membinaku,
menjadi pasangan sejatinya hingga kini.
Kami
bagaikan sepasang merpati putih, berikrar untuk saling mengasihi, dengan
segenap perasaan di hati. Berumah tangga tidak selalu mulus seperti jalan tol.
Kerikil-kerikil tajam kerap kali datang tanpa diundang dan pergi tanpa permisi.
Kerikil itu sering menyakiti dan berdampak pada pertengkaran. Hal ini adalah
sebuah ujian agar aku dan suamiku mampu mendewasakan diri dan menguatkan ikatan
suci ini.
Rumah
tanggaku adalah suragaku. Mendampinggi suami dalam kondisi apapun, suka dan
duka dirasakan berdua. Ujian kesetiaan kami terus datang silih berganti.
Disitulah kekuatan cinta kami dibuktikan, bisa bertahan atau harus
berpisah.
Kata
“cerai” pernah terucap pertama kali oleh suamiku, karena aku tidak mau
mengikuti ajaran agama, yang menurutku menyesatkan. Perbedaan opini, terus menjadi-jadi, hingga
berselisih keras, dan finalnya kami sempat berpikir untuk berpisah secara baik-baik.
Manusia hanya bisa berencana tapi Tuhanlah yang menentukan semua, hal ini
alhamdulilah tidak sampai terjadi. Kata “cerai” pun di akhiri dengan menikah
lagi di KUA untuk menghilangkan kesialan di rumah tangga kami.
Tidak
sampai di situ, pertengkaran kecil terjadi, sedikit demi sedikit berkobar
membakar hati ini karena besarnya api cemburu. Cintaku begitu dalam padanya membuat aku sering cemburu bila suami pulang malam. Memang
sifat ini tidak baik untuk diteruskan. Waktu mengajariku untuk menerima suamiku
dengan apa adanya. Tidak mengekang kegiatannya, dan memberi kepercayaan pada
suamiku.Walau kadang aku masih berpikiran jelek padanya. Masalah-masalah yang
ada terus berdatangan hingga aku menyimpulkan, aku harus belajar menghargai suamiku
apapun kondisinya, dan memberikan kebebasan bila pergi mengunjungi
teman-temannya.
Suamiku
manusia biasa, punya kelemahan dan kelebihan. Setiap haknya harus aku hargai,
dan kelemahannya harus selalu ku tutupi. Karena suamiku, yang akan membawaku ke
surge Allah SWT, bila aku terus menerus berbakti padanya. Suamiku, yang rela
mengkais rejeki mulai pagi sampai jam 12 malam, ketika aku tidur dia pulang.
Suamiku, yang selalu mengalah bila selisih paham denganku, aku menyadari caraku
salah jika menasehatinya dengan caraku. Suamiku punya caranya sendiri dalam
bersikap.
Suamiku,
mencarikan nafkah demi aku dan anak-anak tak lelah walau matahari membakar
kulitnya dia tetap tegar sekuat gunung es, yang tiada lelah membantu memasarkan
dan mengantar air isi ulang pada
pelanggan-pelanggannya. Suamiku, kita bagaikan sepasang merpati.
Surabaya,
17 September 2021
Bionarasi
Panca Lukitasari, lahir di
Surabaya tanggal 28, Maret 1973. Mengikuti Pendidikan dasar di SD Wonokusumo
jaya, lulus tahun 1981, dan dilanjudkan ke jenjang selanjutnya yaitu di SMP Wachid Hasyim 1 dan lulus di
tahun 1987. Kemudian melanjutkan di SMKKN jurusan busana Surabaya. Menyelesaikan studi tahun 1991.
Dilanjutkan mengambil kuliah angkatan
1992 di IKIP PGRI Surabaya jurusan Bahasa Inggris S1 dan Lulus tahun
1997. Kemudian mengikuti Tes CPNS tahun 1998. Tahun 2007 mengikuti pendidikan
S2 jurusan Teknologi Pembelajaran di Universitas Adi Buana Surabaya dan lulus
di tahun 2009. Surel: pancalukitasarimpd@yahoo.com
Komentar
Posting Komentar