TUMBAL PESUGIHAN (BERSAMBUNG)
Desiran
angin berhembus dengan kuatnya, membuat jendela rumahku mulai bergerak sendiri mengikuti arah mata angin. Aku berdiri menatap
lampu penerang ruang tamu yang tiba-tiba berkedip berkali-kali. Samar-samar terdengar
suara wanita menangis, di halaman depan, tangisannya lirih membuatku merinding,
mana ada wanita menangis malam-malam. Ingin rasanya melihat siapa yang menangis di
depan rumah. Kubuka pintu dan terkejut
dengan suara panggilan ibu.
“Gunadi,
mau kemana nak?.
“Ibu, bikin aku kaget
saja. Bu, dengar ndak suara wanita menangis itu bu?.
‘Ndak tuh, sudah jangan
bayangkan yang tidak-tidak. ayo tidur
sana”.
“Iya bu”.
Aku melangkah
menuju kamar seperti biasa, dan menutup jendela kamar yang masih terbuka. Gerimis malam mulai turun
perlahan, hawa dingin malam serasa masuk
ke tulang, aduh dinginya. Kulihat Aminah, anakku yang masih berusia 2
tahun, sedang tertidur sambil memeluk guling. Rasa kantukku mulai datang.
Kuhampiri Aminah dan tidur disebelahnya. Tubuh mungilnya kupeluk, dan terbius tertidur bersama anakku.
Sunyinya malam itu, mengiringi suara tokek yang masih bersahutan.
Tanpa sadar aku melihat sekelebat bayangan putih lewat di depank. aku tercengang dengan kecepatan bayangan putih, siapa itu ?. Nafas ini terus memburu, rasa ingin tahu siapa yang datang, aku
terus mengamati sekelilingku sambil terduduk melihat cermin di depan lemari, nampak
seorang wanita berambut panjang berpakaian putih matanya melotot memandang ke
arahku. Barisan gigi berdarah merembes di ujung bibirnya, tersenyum
padaku. Kupandangi wajah mengerikan itu,
Ya Allah dia adalah Laksmi, istriku yang meninggal 1 minggu lalu.
“Laksmi…Laksmi!
tunggu”.
Laksmi, menghilang beberapa detik setelah kupanggil
namanya. Masih kuingat betul kejadian yang membuat Laksmi meninggal. Seminggu
lalu, waktuku memberi korban tumbal
pesugihan talah tiba. Para dedemit mulai
meminta jatah tumbal perempuan, terpaksa kukorbankan istriku, yang kondisinya
sakit-sakitan. Lagian aku mulai bosan dengan penyakitnya yang tak kunjung
sembuh, Laksmi tak lagi cantik dan seksi seperti dulu. Tubuhnya kurus,
terbungkus kulit yang berwarna kehitaman, digrogoti tumor ganas yang menyerangnya 7 bulan lalu.
Pipi yang merona merah bak tomat segar, kini tak ada lagi, bagai daun, Laksmi telah layu.
Apalagi yang kuharap darinya. Ibuku, yang bisa merawat Aminah dari pada Laksmi.
Belum sempat kubenahi selimut Aminah. yang
tidur di sebelahku, suara langkah seseorang mengetuk pintu kamar.
“Bang,
bang bukakan pintu bang. Aku masih belum mau mati bang”.
Suara
Laksmi, bisikku dalam hati. Sarung yang masih menempel di lutut kaki segera
kunaikkan dan menjamkan mata kuat-kuat takut mendengar terror Laksmi, istriku yang telah
kujadikan tumbal pesugihan.
Di pagi buta tangisan Aminah yang keras,
membuatku terbangun. Aminah berteriak memanggil ibunya, jarinya menunjuk ke
arah depan pintu kamar yang tiba-tiba bergerak menutup dan membuka sendiri,
aneh sekali. Aku tertegun melihatnya.
“Ibu..ibu
bu”.
“Aminah,
nak mana ibu?.
“Itu
pak, ibu . Tangan ibu”.
“Hush
itu bukan ibu . ayo tidur lagi nak”.
Tanpa menunggu
persetujuan Aminah, kupeluk erat tubuhnya yang mungil . Aminah diam tertidur dalam dekapanku.
Di rawa-rawa yang gelap, kakiku tercebur di
dalamnya kubangan lumpur. Beberapa buaya berkepala manusia dengan gigi
taringnya yang tajam mendekat, mengepungku
dan siap menyerangku dari arah depan, kanan, kiri dan belakang. Di
suasana genting itu aku melihat tali gantung yang tiba-tiba berada tepat di
atas kepalaku. Bingung yang harus kulakukan,
kutarik tali gantung kebawah tepat keleher, anehnya tali gantung menarik
leher kepalaku naik. Aku tersenggal-senggal dan menarik nafas.
‘Jangaaaan,
jangan!”
Teriakan suaraku yag keras, ketika kubuka mata, ternyata aku bermimpi. Ya Tuhan,
hampir saja seperti mau mati rasanya. Aku menarik nafas panjang sambil
mengingat-ingat kejadian malam tadi sampai pagi ini, terror mistis kematian
Laksmi istriku seakan meneror anggota keluarga. Arwah Laksmi mati penasaran.
Terror arwah Laksmi, terus menganggu
aktifitas harianku. Diam-diam ada rasa menyesal menyelimuti hati, seandainya
aku tak menjadikan Laksmi sebagai tumbal pesugihan, pasti tak terjadi terror ghaib ini.
Aku mengambil nafas panjangku. Kehidupanku tak kekurangan, aku
bergelimang harta, sejak memelihararta. Sawah ada 2 hektar, mobil, rumah mewah.
Aku termasuk orang terpandang di desa ini. Memang kekayaan tak menjamin
kebahagiaan di hati, aku kaya harta tapi tak bahagia.
Aminah menggendong boneka kesayangannya,
Barbie. Tak terlihat senyum ceria semenjak ibunya meninggal. Hanya ibu dan aku
yang terus menghiburnya. Aku mengawasi Aminah dan duduk di sofa ruang tamu, ada rasa kasihan
melihat anakku bermain sendiri, tanpa kasih sayang seorang ibu.
Kubaringkan
tubuhku di atas sofa. tak di sangka-sangka, asap mengepul tepat ke arahku.
Perewanganku si gundul pocong, berdiri terlihat barisan giginya berdarah,
pandangan matanya tajam melotot melompat, menjatuhkan beberapa koin emas
gemercing di lantai. Inilah hadiah yang aku terima setelah istri, kujadikan
tumbal, koin-koin emas yang membuat hartaku
semakin banyak dan kaya.
Aku
mengambil satu persatu beberapa koin-koin
emas di lantai didepan sofa yang kududuki.
“Gun, kamu dapat koine mas lagi?”.
“Ya bu”.
“Cobak sini biar ibu lihat”. (Bersambung)
Komentar
Posting Komentar