TAK BERUNTUNG
Matahari
yang mengintip dari balik tirai jendelaku yang sedikit terbuka, hawa dingin di
pagi ini, membuatku malas beranjak bangun. Tung, tung, tug suara kentungan
besi, kudengar jelas di depan rumah. Walau masih mengantuk, kubuka mata ini
pelan-pelan, ternyata hari telah siang. Suara kentungan masih saja kudengar .
Aku berjalan ke ruang tamu dan mencium bau melati, wangi sekali. Kubuka pintu,
terlhat jelas bendera palang merah tepat di depan rumahku. Aku mendekat didepan
pagar, beberapa orang telah duduk-duduk dan Remi, anak tetengga depan rumah, mulai
sibuk menyiapkan prosesi pemakaman. Ah
siapa yang meninggal ini?. Kok rumah Remi.
“Rem, Remi siapa yang meninggal?”
“Kamu baru
bangun, Niji tuh ibuku meninggal”.
“Inalilahi wa inalilahi rojiun, sabar ya
Rem”.
“Pasti, Nij”.
Aku
melangkah masuk rumah, langsung mandi dan bersiap-siap ke rumah Remi. Ketika
masuk kamar mandi, aku mencium bau wangi melati, sama baunya seperti di ruang
tamu tadi. Ada rasa was-was kini hinggap
di hati ini, aduh ada apa ya?. Di depan
kaca, aku mulai menyisir dan membenahi pakaianku, kini siap takziah ke rumah
Remi.
Melihat
prosesi pemandian ibu Remi, yang tertutup tirai, aku duduk di sebelah pak Toha.
Sambil berbincang lirih tak terasa, mayat telah siap diberangkatkan ke
pemakaman umum. Akupun segera beranjak berdiri dari kursi, membantu membawakan
batu nisan. Tak biasa bulu kuduk ini tiba-tiba berdiri, aku merasa seseorang,
lagi mengawasi dari jauh. Kuhilangkan rasa penasaranku dan terus berjalan
menuju pemakan umum.
Jam
menunjukkan 08.30 sampai di rumah, waktu berangkat kerja, driver taxi online blue bird. Kubuka mobil dan menghidupkan
mobil, Alhamdulilah mesin hidup. Kulihat di kaca spion mobil, ternyata ada
wanita berpakaian putih yang telah duduk
di bangku paling belakang, Ya Allah, dari mana tiba-tiba muncul wanita ini. Rambutnya panjang berderai menutupi wajahnya.
Mobil taxi yang kukendarai tercium bau wangi melati, sama persis seperti di
rumah tadi. Kuawasi gerak geri wanita berpakaian putih.
“Bang,
antarkan aku ke Pasar Baru, cepat”.
“Eh
iya, sudah dari tadi ya nunggunya ”
Wanita
itu cuman diam, tanpa menjawab pertanyaaanku, ini yang bikin jantungku serasa
copot, manusia atau bukan wanita ini?. Tanpa banyak bicara mobil kujalankan,
agak cepat, melewati kendaraan yang lalu lalang di sampingku. Untungnya jalan
yang kulalui tidak terlalu padat, 30 menit telah sampai di depan Pasar Baru.
Wanita itu turun dan menyodorkan uang lebaran seratus ribuan, dan
menyodorkannya padaku.
“Terima
kasih bang, ini uangnya”.
“Maaf
uangnya kebanyakan mbak”.
“Ambil
saja”.
“Terima
kasih”
Aku tersenyum, lumayan tarikan pertamaku dapat rejeki.
Perjalankan kulanjutkan ke warung makan, perut rasanya meronta-ronta ingin
diisi. 500 meter dari Pasar kujumpai warung makan cukup besar dan bersih.
Kuhentikan laju mobilku, mengambil duduk, memesan makan. Nasi Rawon , es teh menu
kesukaan, yang telah kulahap habis.
“Ibu, es teh dan nasi rawon berapa?.
“Rp 20.000 mas”.
‘Ini bu”.
Ibu pemilik warung,
menerima uang lembaran seratus ribu yang kuberi.
“Lho mas, uangnya mana? Ini daun mas”.
“Masak sich bu, itu uang lembaran Rp 100. 000, jangan
bergurau”.
“Ini daun mas, bukan uang”>
Busyet, ternyata benar
yang dikatakan ibu pemilik warung itu. Yang kuberi barusan bukan uang,
melainkan daun. Ya Allah, aku malu. Tanpa buang waktu kuambilkan uang dalam
dompet, kusodorkan sejumlah uang dari dalam dompet. Aku meninggalkan warung
makan, tak habis memikirkan uang yang diberi wanita berpakaian putih ternyata
daun. Kukira aku beruntung dapat rejeki nomplok, ternyata dapat sial. Nasib,
nasib.
Surabaya, 11 Mei 2022
Ha..ha..ha..Ternyata GENDRUWO..YA. Bismillah bacakan ayat kursi. Gak mempan hantamkan kursinya
BalasHapusTerima kasih Cak Inin
Hapusanggaplah ibu kena prank, ha ha ha...
BalasHapusPas makan sudah senyum-senyum ya....? Haha... Kecewa....
BalasHapusMatur nuwun Bu Mien dan Bu Heronimus komentarnya
Hapus