SOTO PENGLARISAN

   Di ujung pertigaan jalan Platuk doulyo Surabaya, ada warung lesehan yang sangat ramai pembeli, mereka rela berdiri  mengantri untuk mendapatkan giliran makan soto ayam  yang berkuah kental putih, dengan irisan telur dan daging ayam yang dipotong  tipis-tipis, sekilas tak nampak lezat, atau menarik untuk disantap, entah mengapa banyak orang menyukainya, Soto Manalagi, nama warung yang menjual makanan itu. Warung soto yang dihiasi rangkaian bunga melati di setiap sudut pintu yang bercat putih. Penyajian mangkok yang diisi nasi dan kuah  soto  tercium wangi, kejanggalan warung ini tak menciutkan nyali pembeli untuk menyantap soto, yang mereka anggap kaldunya sedap dan lezat, meski ada ludah pocong di setiap mangkok soto yang disajikan. Pembeli seakan telah ketagihan dengan soto ludah pocong, yang akan merusak jiwa mereka.

     Pulang sekolah   aku, Dina dan Joni lewat jalan Platuk, naik sepeda montor bertiga menatap lurus ke sisi jalan  warung lesehan Soto Manalagi, tiba-tiba perutku terasa lapar, ingin makan soto, Dina yang menyetir motor kutepuk pundaknya.

                        “Ada apa Tin?.

                    “Aku laper, pingin makan soto di warung itu, ayuk”.

                    “Bener kamu ingin  makan Tin?.

                    “Iya, ayuk. Jon, kamu laper nggak?.

                    “Iya Tin, kamu yang traktir ya?.

                    “Dasar Joni culun”.

Dina tertawa ngakak melihat Joni, yang sikapnya mirip cewek, ia  segera memutar Haluan sepeda montor dan mendekati warung. Kulihat beberapa orang masih berdiri mengantri, kami bertiga duduk lesehan paling depan sambil melihat lalu lalang kendaran. Aku melambaikan tangan memberi tanda dengan jari  untuk pesan 3 mangkok soto dan 3 es teh. Pak Dulah, melihatnya,  mengangguk tanda mengerti pesananku. Joni berdiri sambal memegang celananya.

                    “Jon, kamu ngapain malu-maluin itu dilihat orang!.

                    “Tin, aku kebelet pipis, antar dong takut sendiri”.

                    “Iya, iya ayo kuantar”

Aku dan Joni berjalan ke toilet belakang warung, yang jaraknya 50 meter, sesampai di depan pintu toilet, ternyata tertutup, gelap dari luar, tak ada lampu penerang satupun didalamnya, reflek kudorong pintu dengan keras, dan terbuka sedikit. Joni mengintip ruang toilet, dan terkejut bukan main.

                    “Kenapa Jon?.

                    “Di dalam toilet tercium bau wangi melati, gelap sekali Tin”.

                    “Masak sih? . Benar Jon!.

                    “Cari yang lain Tin”.

                    “Tahan dulu, hiii aku ngeri juga Jon, larii!.

 

Aku dan Joni lari terbirit-birit menuju Dina.  Busyet, Dina lagi  asyik menyantap 1 mangkok soto ayam dengan lahapnya.

                    “Ini Tin, Joni sotomu. Ayo makan!.

                    “Terima kasih, wah selera makanku hilang ayo pulang”.

                    “Soto ini benar-benar lezat, aku suka”.

                    “Sudah Din , ayo pulang aku yang bayar 3 soto ini”.

                    “Lho soto enak kok ndak dimakan”.

                    “Joni, tolong Dina”.

                    “Siap, Tin”.

Joni, menarik tangan Dina untuk keluar warung, mengambil sepeda montor. Rasa mual ingin muntah mencium aroma soto ayam yang wangi, aneh sekali soto yang satu ini. Aku mulai merinding di dalam warung itu, cepat-cepat membayar ke kasir dan berjalan menuju Dina dan Joni yang telah menungguku.

      Diluar dugaan Dina mual dan mrmuntahkan soto yang telah ia makan. Wajah Dina pucat dan lemas, Joni memapah tubuh Dina, aku menghidupkan montor mengonceng Joni dan Dina. Alhamdulilah, bisikku bersyukur meninggalkan warung itu dengan hati lega. Sepeda montor kugas cepat, tak kurang dari 15 menit sampai di rumah Dina.

       Dina yang masih lemas berbaring di sofa ruang tamu, kuolesi minyak kayu putih dan ia tertidur .Aku dan Joni, saling pandang.

                    “Joni, warung Soto Manalagi itu angker ya”.

                    “Ya Tin , aku masih takut “.

                    “lho katamu tadi ingin pipis?.

                    “Pipisku hilang Tin, melihat toilet yang seram itu”.

                    “Ha, ha, ha, ha!.

Aku tertawa terpingkal-pingkal mendengar kata-kata Joni. Warung lesehan Soto Ayam Manalagi, memang bukan warung makan biasa. Warung makan penglarisan, yang membuat Dina muntah setelah makan soto. Melihat kondisi Dina yang yang lemas, aku menyadari tak semua warung menjual makanan sehat, harus pintar menyeleksi mana-mana  warung yang tepat untuk memesan dan menyantap makanan dan yang tidak, jangan sampai tertipu dengan warung soto penglarisan. Biasakan membaca doa sebelum makan, semoga kisah ini tak terjadi ke orang lain.

 

Surabaya, 7 Mei 2023

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

SANG PENDOSA

AYAH, MALAIKAT TAK BERSAYAP