AYAH, PENERANG HIDUPKU
Cahaya
pagi mulai merangkak naik, aku duduk di bawah pohon beringin melihat gulungan
ombak putih di pantai kenjeran . Perahu nelayan yang bersandar di bebatuan
pinggir pantai, Indah sekali pemandangan ini Subhanallah. kupandang luasnya lautan putih, mendung di
langit nampak kehitaman, tanda hujan akan turun.
Hari keduaku menjalankan puasa Ramadhon, tanpa makan sahur
dan segelas teh. Perutku terasa perih dan keroncongan tapi tak
ada uang sesenpun di dompet, kuhanya mampu menelan ludah menahan derita
yang tak pernah berujung. Semenjak ayah jatuh sakit, hari-hari yang kujalani
semakin tak menentu. Ayah penyemangatku, memberi contoh baik. Ayahku tak pantang menyerah, terus giat beribadah dan
bekerja, baru saja jatuh sakit. . Suyitno, nama ayahku tersayang cepatlah
sembuh, kuingin melepas rindu canda tawa yang dulu selalu menghiasi hari-hari.
Cepatlah sembuh ayah, hilangkan kegelisahanku. Ayah cahaya hidupku.
Ayah yang lemah masih berbaring sakit, badannya panas, tak
mampu duduk, hanya tiduran di dipan kayu
tanpa kasur empuk. Aku yang hidup bersama ayah, tidak pernah bertemu ibu, mendapatkan belaian kasih sayang sejak lahir.
Ibu kandungku telah meninggal dunia
terinfeksi luka akibat gigitan ular sawah. Hanya ayah orang tuaku satu-satunya
yang kupunya. Ayah hartaku yang paling berharga di dunia.
Ayah selain sebagai orang tua tunggal,
bagiku ayah juga seorang teman,
sahabat, laki-laki yang paling berjasa membesarkanku sampai seperti sekarang ini. Keseharian
ayah berprofesi sebagai tukang jahit
keliling, dari kampung ke kampung dengan mengayuh becak butut kesayangannya. Pekerjaan ayah yang serabutan,
penghasilannya hanya cukup buat makan 1 hari satu sekali. Ayah, cahaya penerang
hidupku. Andai bisa kubalik, biarlah aku
yang menderita sakit, bukan ayah.
Aku hanya tamatan SMP, kerjaku lontang-lantung
mencari jati diri. Inginku membantu
ayah, meringankan beban yang ada di pundaknya . Sampai akhirnya aku menjajal jadi tukang becak pasar , pengamen, dan tukang
panggul kapal, kulalui .demi menyambung hidup bersama ayah tercinta Meski menempati kamar kontrakan kos yang kecil, terasa
bahagia asalkan bersama ayah. Pahit dan getirnya kehidupan adalah sebuah tantangan tersendiri
bagiku , aku kuat, kebal menghadapi masalah sesulit apapun karena didikan ayah.
Kondisi ayah yang semakin parah, badanya
yang kurus dan lemas, tak sanggup aku melihatnya. Uang yang kutabung dari hasil
bekerja telah habis untuk biaya berobat. Kini tinggal becak tua ayah yang masih
tersisa. Aku hanya mampu menunggu uluran tangan para tetangga, yang bersimpati
dengan kondisi ayah. Puasa Ramadhan kulalui dengan khusu dan terus berdoa memohon Allah
SWT menggabulkan semua permohonanku, kuingin
ayah sembuh dan bisa beraktivitas seperti dulu.
Sore jam 17.30 saat berbuka puasa, kulihat
ayah menggigil kedinginan, bibirnya yang tampak menghitam.
"Ayah kenapa, badan ayah menggigil?.
"Ayah, ndak pa pa nak".
"Ayah jangan bohong. Ayo kubawa ke
rumah sakit ya biar sembuh".
"Udin, jangan buang waktu ayo segera
jalankan sholat isya dan terawih.".
"Tapi ayah".
"Sudah, ayo wudhu".
Aku
meninggalkan ayah , melakukan perintahnya, menjalankan sholat isya dan teraweh di mesjid, tak jauh dari rumah. Kulihat ayah masih
berbaring.
"Yah, aku berangkat ya".
"Hati-hati Din".
Tepat
jam 20.00 setelah menjalankan sholat terawih, aku berjalan tergesa-gesa untuk pulang.
Hatiku tak enak berpikir terus dengan kondisi ayah. Sampai di depan kamar,
kubuka pelan-pelan tak ingin ayah kaget mendengar derik daun pintu. Ya
Allah ayah jatuh dari lantai sendiri,
aku mengangkat kepala ayah dan memegang tangannya, terasa dingin dan tak
bernadi. Aku mulai panik dan memanggil ayah. Ayah tetap diam tak merespon.
Akhirnya kupanggil tetangga sebelah kamar kos, Muhadi. Mendengar semua
ceritaku, Muhadi langsung menenggok ayah, dilihat denyut nadinya.
"Innalilahi wa inalilahi rojiun. Din
ayahmu telah tiada".
"Ayaaaah!.
Aku
menangisi kepergian ayah, orang tuaku satu-satunya. Kesedihan yang tak dapat
kusembinyikan. Ayah, penerang hidupku.
Ayah adalah guru yang Mulia. Keren Bu cerpennya.
BalasHapusTerima kasih pak Supardi atas BWnya
HapusKeren. Lanjut jadi buku
BalasHapusTerima kasih Pak inin
Hapus