IBU, KILAUAN MUTIARA DUNIA


 

Juminten penjual sayur di Pasar Bengkok, telah mengelar dangangannya, untuk menjemput rejeki, demi menafkahi  anaknya di rumah. Tubuh tua yang termakan usia, harusnya menikmati masa tuanya dengan orang-orang terdekatnya, menghabiskan waktunya dengan istirahat yang cukup karena keterbatasan tenaga  yang dimiliki.  Suami Juminten telah meninggal dunia  10 tahun yang lalu, karena serangan jantung mendadak, membuat bahtera keluarga goyah kehilangan sesosok kepala keluarga yang menjadi panutan. Kehilangan suami yang menafkahi, mengayomi, mendamaikan hati, membangun motivasi, kini tiada lagi. Juminten yang terpukul, bangkit dari keterpurukan. Ingin mengembalikan  senyum buah hati  yang hilang, meraih  harapan untuk hari esok , seiring waktu berjalan. Air mata kesedihan yang keluar, tak mampu mengembalikan suaminya untuk hidup kembali. Pasrah dengan nasib bukanlah solusi, Juminten harus bekerja, memperjuangkan nasib anaknya.

Meski tak lagi muda, Juminten bertekad bekerja menbangun kondisi ekonomi yang terpuruk. Tak banyak warisan yang ditinggalkan oleh suaminya,  rumah dan kebun sepetak di belakang rumah. Kebun yang subur terdapat berbagai macam tanaman umbi-umbian, sayur dan buah. Ketelatenan Juminah merawat, membersihkan, menyirami,  tanaman di kebun belakang berbuah manis. Hasil panen  yang melimpah membawa berkah bagi keluarga. Hasil panen  membawa rejeki yang dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan sebagian dikonsumsi sendiri. Kesederhanaan Juminah menjalani hidup bersama ketiga buah hatinya.

Ruminten, Mintuk dan Amintun adalah anak gadis Juminah  yang masih menjadi tanggung jawab untuk membesarkannya. Ruminten, si sulung dari kedua adiknya, bekerja di rumah, menerima jahitan para tetangga sekitar. Ruminten tamatan SD, tak meneruskan sekolah lagi. Ruminten belajar menjahit dari Juminten, ibunya. Ketelatenan dan keseriusannya untuk bisa menjahit, membuatnya berproses menjadi penjahit hebat, walau usiannya masih belia 15 tahun. Baju yang dijahitnya rapi, enak dipakai, dan pas ukurannya, alasan itulah yang membuat Ruminten menjadi penjahit yang dikenal di dalam dan luar kampung.   

Mintuk. masih duduk di SD kelas V, gadis kecil yang sehari-harinya duduk di kursi roda, kedua kakinya lumpuh karena sakit panas tinggi hingga mempengaruhi saraf motoric kaki. Parahnya kedua kaki Mintuk tak lagi mampu berjalan normal, Mintuk harus menggunakan  kursi roda sepanjang hidupnya. Mintuk gadis kecil yang bernasib malang, tak bisa menikmati masa kecilnya yang indah, berlari-lari dengan teman-teman  kecilnya, bermain bersama, bercanda ria. Mintuk hanya mampu melihat dan merasakan kerinduan yang teramat sangat untuk merasakan indahnya masa-masa kecil yang tak  akan terulang kembali. Mintuk hanya menudukkan kepala, menguatkan hati menerima kodratnya sebagai gadis lumpuh, menjadikan kursi roda sebagai teman abadi sepanjang hayat.   Mintuk terkadang minder berkawan dengan teman sekelasnya. Kepolosan Mintuk yang berkata apa adanya, keiklasan hatinya membantu teman-temannya, membuat mereka trenyuh, tergerak hatinya untuk selalu menolongnya. Mintuk yang lincah dan rajin, nilai rapotnya selalu terbaik  di atas rata-rata teman-temannya. Mintuk yang menatap  masa depannya, dengan senyum iklas dan menerima semua takdir yang akan diterimanya nanti.

Amintun, yang masih duduk  di bangku TK A, mewarisi sifat ibunya, rajin dan bersemangat. Mintun nama panggilanya. Parasnya yang imut dan lesung pipi, Mintun menggemaskan dan sangat disayang. Mintun, berambut panjang hitam, kulitnya berwarna putih bersih. Rajin belajar membaca, menulis dan menggambar. Mintun sering menggambar bapak dan ibunya bergandengan tangan, menggendong dirinya, memeluk erat Ruminten dan Mintuk.

Di pagi yang cerah, matahari tersenyum indah sesegar embun yang menetes dari daun papaya. Kupu-kupu yang berwarna-warni berterbangan di kebun belakang, aroma wangi bunga melati putih, kelopak bunga mawar merah  yang mekar, seperti lukisan indah di dunia. Mintuk mendekati kakaknya, Ruminten.

"Kak Rum, sepatu sekolah yang kupakai telah robek kak".

"Yang mana Min, kalau masih bagus pakai saja".

"Sudah robek kak, tolong belikan".

"Uang kakak telah habis, untuk membeli beras, dan kebutuhan lain kemarin, sabarlah dulu".

Mintuk terdiam kepalanya tertunduk lesu, ia gerakkan kursi roda untuk kembali ke kamarnya. Mintun yang lagi membawa boneka melirik kakaknya, yang nampak sedih, duduk di kursi roda di pojok kamar.

        “Kak, kenapa diam? Ayok bermain boneka sama aku”>

        "Mintun, kakak malas,  tinggalkan sendiri".

Mintun mengawasi raut wajah kakaknya, dan pergi bermain sendiri.  Mintun dudukdi ruang tamu  dan memainkan boneka keci  dekil, yang masih  tetap disukainya.

      Mintuk menatap langit-langit rumah yang gelap, jaring laba-laba terlihat di sana-sini. Terbayang wajah bapak, yang telah wafat. Kerinduan yang menjalar di ingatan dan hatinya, kasih sayang bapak dan keembutan hatinya, tak pernah terlupakan Mintuk.  Meski telah lama meninggal kesan medalam, masih segar dipikirannya. Air matanya mulai jatuh mengingat masa lalu  saat-saat bersama bapak.

    Sentuhan tangan Juminen di pundak Mintuk, membuyarkan lamunannya. Mintuk segera menyadari ibunya, telah berada tepat di sampingnya.

      "Ibu, aku tak mendengar suara ibu pulang,  sudah dari tadi bu?

      "Ya Mintuk, kenapa raut wajahmu sedih nak?.

     "Aku ingat bapak bu. Seandainya bapak masih hidup, kita tak  akan seperti ini".

     “Mintuk, relakan bapakmu, beliau telah tenang di sana. Apa lagi yang membuatmu sedih nak?

     "Ibu, aku tak tega mengatakannya bu".

     "Katanlah, mungkin ibu bisa membantu".

     "Ibu, sepatu sekolahku telah robek besar, aku ingin sepatu baru bu".

     "Oh itukah masalahnya. Ibu akan mengumpulkan uang dulu ya, kalau sudah terkumpul, ibu belikan".

Sentuhan halus di kepala Mintuk, mendamaikan hatinya, ia pejamkan matanya merasakan kasih sayang ibunya. Senyum Juminten mengembang di bibir,  sebuh janji yang harus dilaksanakan untuk kebahagiaan Mintuk, membelikan sepatu baru/

       Jari jemari  Ruminten yang lincah memegang kain di atas mesin jahit,  menjahit baju pelanggannya, cucuran keringat yang membasahi baju, membuatnya lupa waktu. Ruminten ingin menyelesaikan order jahit baju bu Sono, tetangga sebelahnya. Juminten menengok meja makan, tak ada satu  makananpun yang bisa dimakan. Mulai berangkat kerja sampai siang hari, Juminten belum makanapapun. Rasa perih menahan lapar dan dahaga ia rasakan sendiri.

      "Rum, kenapa belum masak nak. Kasihan adik-adikmu yang belum makan".

       "Ya Allah bu, aku lupa. Tanggung bu, ini masih menjahit baju milik Sono bu".

      "Biarlah ibu yang memasak. Teruskan menjahitmu nak".

      "Maafkan aku bu".

Juminten masuk ke dapur, tampak diding tembok yang menghitam, kayu-kayu penyangga rumah keropos termakan rayap, perabot dapur yang berdebu dan berantakan, membuatnya bernafas panjang. sambil geleng-gelengkan kepala.   Tangan Juminten mulai membersihkannya piring-piring kotor  yang tergeletak tak pada tempatnya. Juminten mulai memasak dengan kayu bakar di atas tungku. Walau letih habis berjualan, Juminten tak lupa menjalankan  tugas utamanya  memasak, buat ketiga buah hatinya.  Mintun tiba-tiba masuk dapur, sambil memeluk ibunya menggoreng tempe.

       "Mintuk jangan dekat-dekat, nanti kenak minyak goreng panas lho".

       “"Aku lapar bu".

        "Tunggu, setelah selesai kita makan sama-sama ya".

        "Baik bu".

Mintun keluar dapur, kembali bermain dengan bonekanya. Tak sampai 10 menit, Juminten menyiapkan piring-piring dan meminta ketiga anaknya makan bersama.

       Asap nasi putih yang masih panas mengepul, lauk tempe tahu, sayur bening, masakan kesukaan Minten anak bungsunya. Tak lama ketiga anaknya telah duduk bekumpul, menunggu ibunya membagikan piring. Belum  sampai satu menit Rumintem telah memegang piring dan mengambil tempe, dan sayur bening.

       Ruminten, memandang kedua adik yang makan dengan lahapnya.  Ibunya, yang duduk sambil makan sayur bening. Ruminten merasakan kehangatan keluarganya walaupun tanpa kehadiran bapaknya yang telah tiada. Senyum bahagia terpancar di bibir Ruminten, mensyukuri segala kenikmatan yang diberikan Allah SWT pada keluarganya. Ibu meski jadi orang tua tunggal,  beliaulah mutiara berkilau di dunia.

 

 Surabaya 6 Juli 2022

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

SANG PENDOSA

AYAH, MALAIKAT TAK BERSAYAP

IBU, SI PEMBUKA PINTU SURGA