TAK SEINDAH MALAIKAT DUNIAKU


 

        Ibu  yang telah melahirkanku, membuka mata  untuk pertama kalinya di dunia, merasakan sentuhan indah yang tiada tara. Ibu  menjaga mendidik, melewati masa-masa balitaku yang indah, cinta dan kasih sayangnya tak  ada duanya di dunia , membuka lembaran sejarah hidupku, bersama ibu tercinta. Ibuku, malaikat di dunia, kebaikanmu tak mampu kulukiskan dengan kata-kata. Sentuhan  tangan ibu yang lembut menggoreskan kenangan manis, membuatku mampu merasakan kasih sayang pada sesama.

       Ibuku sayang yang telah meninggal dunia sejak aku berusia 14 tahun. Saat-saat aku menginjak masa remaja, yang mencari jati diri menuju proses kedewasaan. Ibu  menderita sakit ginjal akut, harus bolak balik ke rumah sakit untuk cuci darah agar mampu bertahan hidup. Tindakan operasi pengangkatan ginjal sebelah kanan, yang terinfeksi,  membuat ibu hanya memiliki satu ginjal dalam  menjalankan kegiatan sehari-harinya.

     Ibu mulai sakit-sakitan dan cepat lelah. Wajah ibu  yang dulu cantik, kulitnya putih dan segar, telah banyak berubah. Kulit wajah ibu  yang pucat, dan mengguning, berat badan ibu menurun drastis. Ibu tak ubahnya seperti mayat hidup bagai tanaman tak terurus  daunnya yang berjatuhan mengering kekurangan air.  Kondisi ibu juga diperparah dengan sikap ayah, yang acuh tak acuh, ttelah memiliki  kekasih gelap pengganti ibu nanti. Ayahku hanya bermesra-mesraan dengan Arini, calon istrinya. Hari demi hari kondisi ibu semakin parah, hanya berbaring lemah di tempat tidur. Ayahku semakin menjadi-jadi, sampai tak pulang  untuk memperhatikanku dan merawat ibu di rumah.

        Tepat tanggal 3- Maret-2019 pukul 07.00  ibuku jatuh dari tempat tidur tak sadarkan diri, aku membangunkan ibu berkali-kali tapi tak bergerak, kupanggil tetangga kiri kanan untuk membantu ibu. Bu Sudar dan bu Delima  langsung berlari masuk menengok kondisi ibu,hanya mampu berteriak memanggilku, dan mengucap Inalilahi wa inalilahi rojiun, ibuku telah dipanggil Allah SWT. Ibuku, menutup mata tuk selama-lamanya, meninggalkan sejuta kepedihan, tak akan  ada seorangpun wanita  yang mampu mengganti posisi ibu di hatiku. .

          Belum seminggu ibu meninggal, ayah telah menikah lagi dengan Arini, ibu sambungku kini. Arini hidup serumah denganku, sikapnya 180  derajat berbeda jauh dengan  ibu. suaranya yang lantang dan keras memerintah aku bagai seorang pembantu rumah tangga. Tak itu saja Arini memberlakukanku sangat buruk, kekerasan fisik kerap kali kuterima di depan ayah. Anehnya ayahpun membiarkan Arini menampar wajahku dengan tangannya, sampai kulit wajahku  berwarna merah, sakit dan panas yang kurasakan.  Tak sengaja   aku melakukan sedikit kesalahan, resiko yang harus kuterima dan jalani.  Arini melakukan  siksaan fisik, membuat  mentalku sakit.        Mulai tak diberi makan, tanganku disulut dengan api rokok, di masukkan ke kamar mandi yang gelap, dijambak, dipukul dan ditendang dari belakang. sampai-sampai  dilempar pisau dapur.

       Arini ibu sambungku yang sangat malas, kerjanya berhias dan berbelanja seperti wanita berkelas, menggrogoti harta ayah, yang bekerja serabutan demi mencukupi kebutuhan rumah tangga.  Uang bulanan ayah hanya bertahan  selama seminggu, sisanya hutang pada para  tetangga. Tambah lama tambah banyak  hutang,  yang semakin menumpuk tak dibayar. Tak seperti mendiang ibuku, yang pandai bersyukur dan berhemat.

      Seperti mimpi yang harus kuterima, kurenungi  hari-hari seperti tiada habisnya, menderita tekanan bathin akibat kekejaman ibu sambungku, Arini. Ya Allah, akhirilah semua penderitaan hambamu ini, kembalikan ibu kandungku Ya allah, teriakku dalam hati.

        Tubuhku yang dulu gemuk, rambutku yang hitam panjang, senyumku yang menggemaskan, kini pudar tak seperti saat ibu kandungku masih hidup. Aku sering tak diberi makan dikunci dalam kamar, tanpa rasa perikemanusiaan. Aku menjerit pilu, merasakan kepedihan yang tak kunjung usai. Kumenengadah dengan kedua tanganku, setiap selesai sholat, memohon kemurahan hati dan ampunan Allah SWT,  untuk mengakhiri penderitaanku.  Air mata yang mengalir deras di kedua pipi, mendung hitam yang masih menyelimuti hari-hari sedihku.  

       Malam ini aku di kurung dikamar mandi, dahiku masih mengucur darah segar, perih dan sakit yang kurasakan. Arini memberi hukuman   karena aku  tak cepat merespon panggilangnya. Arini marah dan melemparkan pisau dapur, melukai dahiku. Aku diseret  ke kamar mandi yang gelap dan kotor. Perutku yang terus berbunyi, menahan lapar, menandakan harus diisi. Aku hanya mampu menelan ludah.

      Aku seperti anak terlantar, meski hidup serumah dengan ayah dan ibu sambung. Tak   ada kebahagiaan, kehangatan kasih sayang seorang  ibu, belaian cintanya seolah hilang tak nampak lagi. Rasa yang kupunya seolah mati, tak ingin hidup lama lagi, kuingin menyusul ibu kandungku di surga.

      Duduk terkunci di kamar mandi gelap, dekat kebun belakang rumah, hanya suara jangkrik dan nyamuk berterbangan  nyaring sekali di dekat telngaku. Kamar mandi yang terbuat dari sesek yang terdapat banyak lubang di sana-sini, beberapa hewan kecil bisa masuk didalam kamar mandi, apalagi dalam kondisi gelap.

      Aku yang menunggu Arini membukakan  kunci kamar mandi, hanya mampu pasrah dan bersabar. Dari sisi kiri tiba-tiba kurasakan gigitan yang keras di punggung belakang. Kupegang ternyata capit besar yang merobek kulit punggungku, dan beralih menggigit tanganku. Kala jengking besar yang terus menyerangku. Tak tinggal diam  aku mencoba melepaskan capitan kala jengking dengan menggibaskan tanganku hingga hewan buas ini jatuh. Sayangnya aku tak mampu melihat  tempat jatuhnya dengan jelas, hanya rasa punas dan sakit yang luar biasa di punggungku karena gigitannya yang mematikan.  Aku berteriak memanggil ayah dan Arini sampai habis suaraku, kuterjatuh tak sadarkan diri, tanpa seorangpun yang menolong.

       Jiwaku terasa melayang-layang terbang di langit menyusul ibu. Awan putih yang mengelilingiku, seakan membawa ke tempat ibu, di surga. Kulihat kedua tangan ibu, melambai-lambaikan kearahku. Perasaan bahagia yang melihat ibu kandung yang lama kurindukan. Aku telah meninggal dunia, karena siksa ibu sambungku.

         Keesokan harinya, Ayah menjerit histeris setelah membuka kunci kamar mandi. Bibirku yang telah membiru, tak  ada denyut nadi di pergelangan tangan, badanku telah dingin, nafasku telah tiada bersama ragaku. Ayah tak henti-henti menangis, melihat kondisi kematianku, dan terus menyalahkan Arini. Ayah memeluk seakan tak mau melepaskan kepergianku.

Aku yang telah melepaskan ragaku, hanya mampu tersenyum memandang ayah dan ibu sambungku Arini. Tak seindah malaikat duniaku.


Surabaya, 14 juli 2022

   

           

      

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

SANG PENDOSA

AYAH, MALAIKAT TAK BERSAYAP

IBU, SI PEMBUKA PINTU SURGA