KAPAL TAK BERNAHKODA


 

       Pagi hari, mentari nampak menyinari bumi dengan cahanya, pepohonan yang menghijau, bunga mawar dan melati tercium wangi, di taman depan rumahku. Tugas menjadi ibu rumah tanngga kuawali, pergi ke pasar membeli kebutuhan pokok, menyiapkan bekal makanan untuk dibawa kerja suamiku, Masnun. Bekerja sebagai tukang meubel di daerah rungkut Surabaya. Masnun yang mahir kerajinan ukiran kayu, membuat kursi sofa, lemari , tempat tidur yang bagus dan sempurna. Masnun, suamiku adalah satu-satunya tulang punggung keluarga, karena aku hanya ibu rumah tangga biasa, yang menjalankan tugas-tugas di rumah.

        Waktu menunjukkan jam 06.00 aku telah selesai memasak, Masnun yang masih tidur  menutup bagian tubuhnya dengan sarung, lelap sekali. Aku tersenyum melihatnya, rasanya tak tega untuk membangunkannya.

            "Pak, ayo bangun hari telah siang, nanti terlambat bekerja lho".

            "Memang sekarang jam berapa Sri?.

            "Jam 06.01 , ayo mandi".

Tanpa berkata apapun, Masnun bergegas masuk kamar mandi, persiapan untuk berangkat kerja. Kumenatap suamiku, hari ini terasa aneh. 3 kucing peliharaanku tiba-tiba bersuara, mereka sahut-menyahut dengan keras. Aku kejatuhan seekor cicak tepat di atas kepalaku.

      Kejadian yang tak biasa, membuat perasaanku tak enak. Kulihat Masnun keluar dari kamar mandi, wajahnya nampak tak sehat, pucat.

            "Pak, hari ini wajahmu tampak tak sehat, bapak sakit?.

            "Aku agak pusing hari ini Sri".

            "Kalau gitu, istirahat di rumah saja. Hari ini perasaanku tak enak Pak".

            "Tak enak? Maksudmu?.

"Tak dengarkah bapak, 3 kucing peliharaan kita terus menggeong dan aku kejatuhan seekor cicak tepat di atas kepala. Ini bertanda buruk pak".

"Ah kamu bisa saja. Doakan suamimu selamat sampai tujuan. Kamu cinta aku kan?.

"Kudoakan pak, Amin amin amin YRA".

 Masnun mencium dahiku dengan mesranya, kututup mataku meresapi sentuhan bibirnya.  Kupeluk tubuh, aroma wangi di rambut dan badanya,   suamiku memang ganteng, tak salah jika aku memilihnya.

      Kucium tangan kanannya, menggiringi keberangkatan Masnun untuk bekerja. Sepeda montor yang ia keluarkan dari halaman depan, Masnun berangkat sambil tangannya melambai-lambaikan kearahku, tak biasa suamiku melakukannya, semoga Masnun selamat sampai tujuan Amin amin amin YRA.

      Jalanan nampak sepi, tak banyak pengendara motor lewat daerah ini, montor Masnun digas dengan kecepatan tinggi.  Pas di belokan perempatann, truk gandeng melaju dengan cepat, di  sebelah kiri anak kecil hendak menyebrang jalan posisinya menghalangi laju sepeda montor Masnun. Reflek Masnun mengerem mendadak sepeda montornya melaju cukup kencang.  Tanpa waspada lagi, Masnun terpelanting nyungsep mencium  badan jalan, helmnya jatuh bertepatan truk gandeng lewat, tanpa bisa menginjak rem mendadak, menggilas kepala Masnun sampai pecah, darah bercampur otaknya berhamburan keluar, Masnun meninggal di tempat.

      Kegelisahanku pada Masnun seolah menjadi-jadi, hatiku tak enak, seakan menggambarkan kejadian yang menimpa Masnun, suamiku. Aku masih mencuci    gelas-gelas dan piring  kotor di dapur, tiba-tiba terjatuh dan pecah di lantai, aku terkejut  melihatnya. Hatiku semakin gelisah, memikirkan Masnun. Aku  berjalan menuju  ruang tamu, mengambil HP, untuk menelpon Masnun. Hp berada di atas  meja ruang tamu tampak  berbunyi 3x dan aku mengecek nama si penelpon. Nomor tak terdaftar di kontakku, terus siapa yang menelpon?. Antara bingung dan cemas perasaanku saat itu. Kucoba menelpon balik, menghilangkan rasa penasaranku.

            "Halo selamat pagi, ini dengan siapa ya, menelpon saya sampai 3x?.

            "Selamat pagi bu, ini denga istri pak Masnun?.

            "Iya benar, saya istrinya. Ada apa ya pak?.

            "Mohon maaf bu, saya  Serda Ketut, melaporkan, pak Masnun mengalami kecelakaan".

            "Ya Allah, terus suami saya bagaimana pak?.

            "Pak Masnun meninggal di tempat kejadian. Mayatnya dibawa ambulans di RS Suwandi".

            "Innalilahi wa inalilahi rojiun, Ya Allah. Terima kasih atas informasinya pak"..

Kumatikan Hp, tanganku bergetar mendengar kematian suami seperti tak percaya. Belum sampai satu jam lalu, Masnun, mencium dahiku, tangannya  yang melambai-lambai seperti mengucapkan salam perpisahan padaku, Rasanya aku  tak percaya mendengar takdir Masnun, suamiku.

      Aku bergegas berjalan keluar   dan mendatangi Mirna, tetangga sebelah rumah, kuceritakan kejadian yang merenggut nyawa Masnun. Air mataku tak henti-hentinya jatuh membasahi pipi, Mirna sahabatku, ikut iba merasakan kesedihan yang kualami, ia mendampingiku ke RS Suwandi. Aku dan Mirna langsung menuju ke kamar mayat.  Nampak sebuah peti mati tertulis nama Masnun, suamiku. Aku mencoba masuk mendekati peti mati itu, tapi masih kosong, Petugas rumah sakit, memberi tahuku, untuk sabar menunggu, karena proses memandikan, mengkafani dan menyolati mayat perlu wakti  120 menit/2 jam. . Aku mengangguk dan keluar dari ruangan itu.

      Jam menunjukkan pukul 12.15, salah satu petugas kamar mayat memberitahukan keluarga pasien , telah diperbolehkan melihat dan membawa pulang mayat korban tabrak lari, atas nama Masnun. Aku diperkenankan masuk bersama Mirna yang terus mendampingiku. Kain putih penutup tubuh Masnun, kubuka pelan-pelan, kulihat kondisi  suamiku. Wajahnya hancur, kepalanya berlubang besar, dan organ tubuhnya remuk, tergilas ban truk. Aku tak mampu melihat kondisinya yang menyedihkan. Kututup wajahku, merasakan kepedihan ditinggal mati suamiku tercinta untuk selama-lamanya. Mataku tiba-tiba gelap, tubuhku terkulai lemas , aku jatuh pingsan. Mirna yang sigap menahan tubuhku agar  tak jatuh di lantai. Mirna memelukku dan membawa tubuhku duduk dikursi panjang. Hampir 30 menit aku tak sadarkan diri, Mirna terus memanggil namaku. Sampai aku tersadar, kubuka mataku dan memeluk Mirna, tangisanku meledak  di bahunya.

            "Mirna, aku tak mampu hidup sendiri tanpa Masnun suamiku'.

            "Sabar Sri, Allah sedang  memberikan cobaan untukmu agar kamu semakinn kuat".

       Duniaku seakan telah mati seiring kepergian Masnun suamiku,  Aku tak mampu melepaskan, kuingin menyusulnya. Malam itu aku bersama sanak saudara dan para tetangga  mengantar suamiku di tempat peristirahatan terakhir.

       Hatiku berkecamuk  sedih, rasa tak ingin kehilangan suami, teman hidupku di dunia ini. Jerit hatiku, kenapa harus Masnun  yang kau panggil Ya Allah, Mengapa kematian Masnun harus tragis, menggores luka mendalam. Baru tadi pagi kubertemu dengan suami, siangnya telah pergi untuk  selama-lamanya. Apa dosaku Ya Allah, kembalikan rohnya, jangan ambil suamiku. Aku tak mau ditinggal sendiri, aku sangat mencintainya , masih butuh dirinya Ya Allah. Masnun sangat berarti untuk hidupku. Kutenggelam dalam kesedihan, memulai malam-malam panjang tanpa suamiku, Masnun.

        Kehampaan diri kurasakan, tak ada pendampinng hidup seperti dulu. Senyumku telah tenggelam bersama kepergian Masnun, kurindu saat-saat bersamanya, kucinta dirinya segenap hatiku, tak mampu hidup tanpa dia.

        Para tetangga datang silih berganti bersimpati dan menyatakan bela sungkawa, atas kematian Masnun. Pertanyaan mereka tak mampu kujawab, hatiku pedih mengingat Masnun, untungnya Mirna terus mendampingiku dengan sabar.  Wajah sedihku tak mampu kusembunnyikan sedikitpun, air mataku terus mengalir, tanpa bisa menghentikannnya, Masnun  suamiku,  aku ingin pergi bersamamu, membawa buah cinta kita yang telah hadir di rahimku.

      Di sepertiga malam, kumenengadah tanganku, mendoakan Masnun, memohon Allah menguatkanku meenghadapi hari-hari tanpa Masnun. Wajah Masnun masih ada dihati dan pikiranku, senyumnya  akan  selalu abadi, tak  terlupakan seumur hidup. Kenanganku dengan Masnun telah tertulis di lembaran sejarah hidupku, Aku merindu ingin bertemu Masnun suamiku.

        Seminggu terlewat begitu berat, kemanapunn kupergi bayangan Masnun seolah mengikutiku. Tak semennitpun aku mampu melupakannnya, kumampu tersenyum pada orang-oranng yang bersimpati padaku, tapi aku tak mampu membendung kesedihan yang kualami, aku ingin Masnun hidup kembali. Andai waktu itu Masnun mau mendengarkan kata-kataku, pasti tak akan ada kejadian memilukann ini.

      Aku bagai kapal tak bernahkoda, terombang-ambing dengan arus laut tanpa mampu berdiri, memperjuangkan diri menghadapi dunia. Hari-hari kulewati dengan rasa sedih meski teman-temanku datang untuk menghiburku,. Harapan dan doaku, semoga aku mampu berdiri membawa kapalku yang tak bernahkoda, menjalanni putaran waktu, sampai ke  titik nafas terakhirku, amin amin amin YRA.

 

 

Surabaya 19 juli 2022

 

       

           

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SANG PENDOSA

AYAH, MALAIKAT TAK BERSAYAP

IBU, SI PEMBUKA PINTU SURGA