MENANTI SANG FAJAR


 

"Tolong beri saya sedekahnya pak, hari ini saya belum makan", sambil menengadah  tangan kanannya, Mugi memandang seorang laki-laki gendut pejalan kaki yang melewati trotoar tempatnya mangkal. Laki-laki yang disapanya hanya melirik , tanpa bersimpati memberi sedekah. Mugi, menarik nafas dalam-dalam, sambil memandang kakinya yang masih berdarah dikerubuti lalat kotor. Ingin hatinya menjerit tak kuat menanggung cobaan hidup, seakan menghimpitnya tanpa mampu untuk melepaskan diri.

Siang terik matahari, jalanan sangat  ramai , debu-debu yang berterbangan , menyapu wajah tua yang keriput.  Mugi, selalu terlihat memakai pakaian batik lusuh yang telah pudar warnanya, aroma tubuh  yang tak sedap tak terawat. Sorot matanya menyimpan sejuta kepedihan, yang tersimpan di hati. Doa yang selalu dipanjatkan  pada Allah SWT, harapannya untuk mensejahterakan keempat anaknya.  

Ingatannya masih kuat 10 tahun lalu, kenangan-kenangan tercipta indah ketika Sulasih masih ada ditengah-tengah keluarga. Sulasih, istri yang mendampinginya baik suka maupun duka, ibu dari keempat anaknya, yang merawat, mendidik  dengan baik.dialah istri yang sempurna.

 Jalan kehidupan kadang di bawah kadang pula di atas. Cobaan Mugi untuk mempertahankan mahligai keluarga kecilnya, menjalani semua yang terjadi melalui jalan terjal dan berliku, untuk mendapatkan keridhoan Allah SWT.  Jodoh, rejeki dan maut berada di tanganNya, manusia hanya mampu menerima skenario sang pencipta. Mugi yang bekerja sebagai tukang sampah keliling, harus menafkai istri dan ketiga anaknya yang berpenghasilan minim, hanya cukup untuk makan dua minggu, selebihnya harus berhutang. Gali lubang tutup lubang terus membayangi kehidupan rumah tangga Mugi.  Ketiga buah hatinya Suroso, Supeno dan Sutrisno, yang mengalami berkebutuhan khusus

Kondisi ketiga anaknya, yang kurus dan sakit-sakitan. Suroso dan Supeno, keduanya menderita Osteoporosis disebabkan oleh kekurangan vitamin D dan kalsium, kini mereka hanya bisa tergolek lemah berbaring di atas tempat tidur. Suroso dan Supeno kakinya besar sebelah,  tak mampu berjalan normal, hal inilah membuat mereka minder  bergaul dengan lingkungan sekitarnya, mereka hanya menutup diri di kamar.

Tak jauh dari kedua kakaknya, Sutrisno mengalami kebutaan permanen  semenjak lahir. Sutrisno lahir prematur, dengan berat badan kecil tak seperti bayi normal. Mugi dan Sulasih terpaksa menelan kekecewaan melihat kondisi Sutrisno, tapi inilah hidup. Anak adalah titipan Allah yang harus dididik dan dipelihara dengan baik. Sutrisno, yang lahir buta merasakan keindahan dunia, lewat kasih sayang ibu dan bapaknya yang mengasihi dengan tulus dan iklas.

     Dua tahun berlalu  disusul kelahiran anak keempat, Subagyo yang  membawa harapan baru. Bayi yang lahir  dengan berat dan tinggi badan normal, sehat serta montok. Bayi yang menggemaskan membuat Mugi dan istrinya  bersyukur atas nikmat dan kebahagiaan yang dirasakan. Sujud syukur Mugi kepada Allah SWT yang  telah mengabulkan permohonnya, memberikan bayi normal yang sehat.

Kebahagiaan dan kehangatan yang dirasakan  keluarga ini, atas kelahiran Sudagyo, yang telah berusia 10 bulan.  Taraf hidup Mugi beserta  keluarga kecilnya perlahan naik dan berkecukupan. Mugi mendapatkan pekerjaan baru menjadi seorang satpam perumahan digaji 5 juta /perbulan. Semenjak Subagyo lahir, rejeki keluarja Mugi meningkat tajam. Berkah rejeki yang membuat keluarganya tak lagi tersandung hutang.

     Allah SWT menguji kesabaran hambanya lewat cobaan, Perumahan yang dijaga Mugi dibobol pencuri, di siang bolong. Mugi yang memergoki ulah pencuri, harus iklas kakinya tertembak dua kali dengan selongsong peluru timah panas yang menembus paha dan lututnya, hingga Mugi jatuh tersungkur, kepalanya menatap aspal jalan.  Pencuri yang menggasak mobil BMW  warna putih, dan alat-alat elektronik ketika rumah kosong ,  situasi yang menguntungkan itu dimanfaatkan oleh pencuri,  yang menggasak perabot rumah tangga. .  Waktu yang  berjalan begitu cepat Mugi, berjalan tertatih-tatih menghubungi pihak berwajib, melaporkan kejadian perkara. Sayangnya pencuri telah berhasil  membawa pergi  barang-barang curiannya, tanpa perlawanan yang berarti.

     Luka di kaki Mugi masih berdarah, rasa  sakit yang luar biasa, membuat Mugi tak sadarkan diri. Beberapa penghuni komplek perumahan banyak berdatangan memgbantu Mugi dan membawanya ke IGD RS Bhayangkara, Surabaya . Tindakan operasi pengambilan  2 selongsong peluru dari kaki Mugi dilakukan sebelum terjadi pembengkakan hebat.    3 hari Mugi dinyatakan kritis, akhirnya sadar dan membuka mata melihat Sulasih , duduk disampingnya.

            "Saya dimana bu?.

            "Alhamdulilah Pak, engkau sadar. Sudah 3 hari kritis Pak".

            “"Alhamdulolah, tapi kaki kananku tak bisa digerakkan? Kenapa”.

“Kata dokter, kepalamu terbentuk aspal, sampai cidera membuat syaraf kaki kanan bapak terputus, bapak lumpuh permanen".

“Ya Alloh bu, bagaimana ini? Bapak tak bisa berjalan lagi”.

"Sabar Pak, Ibu juga berpikir, serahkan semua pada Allah SWT, insya Allah pasti ada jalan. Maaf pak, ibu pulang dulu ya, kasihan anak-anak ditinggal sendiri".

 

Mugi mengangguk pelan, Sulasih berpamitan  ada rasa tak tega meninggalkan suaminya yang lagi sakit. Selasih keluar dari kamar rumah sakit, dan berjalan mencari angkot untuk sampai di rumah.

      Tak biasanya hati Selasih was-was tak karuan meninggalkan keempat anaknya. 15 menit dilaluinya sampai berhenti tepat didepan kampung Wonokusumo. Terlihat banyak orang dan mobil pemadam kebakaran, menutupi jalan menuju rumah. Asap hitam melambung di angkasa si jago merah  terlihat membesar membakar rumah, Sulasih terperanjat melihat rumahnya terbakar. Dia berteriak khawatir dengan nasib keempat anaknya.

            "Anakku, anakku kemana anakku, rumahku terbakar Ya allah. Kemana anakku?.

"Bu Selasih, Suroso, Supeno, Sutrisno, dan Subagyo selamat sekarang berada disumah saya bu”.

"Alhamdulilah".

Bu Rita, bergegas menuju rumahnya, yang berjarak 150 meter. Di luar  tampak Suroso, Supeno, Sutrisno, dan Subagyo melambaikan tangan. Selasih memeluk keempat  anaknya sambil bersyukur dan berterima kasih pada bu Rita yang telah menyelamatkan ke 4 buah hatinya. .

         Selasih berdiri tepat didepan rumah,  yang dulu bersih terawat, sekarang hanya  tinggal puing-puing warna kehitaman dan asap putih yang  keluar dari atap rumah, tak ada barang yang dapat diselamatkan. Tak terasa air mata Sulasih  menetes menahan sedih, rumah yang ditempati keluarganya bertahun-tahun kini hangus, harus tinggal dimana lagi. Pakaian anak-anak, perabot rumah tak bisa dipakai lagi. Dunia serasa gelap, dan Sulasih jatuh pingsan, tak mampu menahan beban dipundaknya. Dibantu para tetangga tubuh Selasih diangkat ditempatkan di rumah bu Rita, bersama anak-anaknya.

     Sulasih siuman dari pingsannya, menagis dan memeluk keempat anaknya. Perasaannya  pedih, menanggung cobaan yang datang bertubi-tubi.  Belum selesai masalah yang dihadapi suaminya, kini rumahnya terbakar habis.

Adzan Magrib terdengar keras sampai ditelnga Sulasih, dia bergegas sholat dan berdoa. Sulasih menengadah tangannya memohon Sang Pencipta untuk memberi solusi atas semua yang terjadi.    

      Esok pagi jerit tangis para korban kebakaran terdengar miris menyayat hati. Sulasih masih tak percaya dengan kejadian-kejadian yang dialaminya. Sulasih ingin memberitahukan peristiwa naasi ke Mugi, suaminya di Rumah Sakit . Selasih menitipkan Suroso, Supeno dan Sutrisno  ke bu Rita. dan menggendong Subagyo untuk naik angkot.

       Sesampai di rumah sakit, Selasih melihat kaki kanan  Mugi yang terbalut perban, tak tega menceritakan rumah yang terbakar. Subagyo yang girang melihat ayahnya, Mugi memeluk erat putra bungsunya. Tak terasa air mata Sulasih menetes ke sekian kali. Dengan suara pelan Sulasih menceritakan kebakaran itu. Mugi mendengar sambil mengelus dada. Allah SWT telah mengujinya.

            Sebulan berlalu dengan cepat , Mugi telah menempati sebuah rumah kontrakan kecil, yang cukup untuk keluarga kecilnya. Mugi tak bisa lagi bekerja menjadi satpam, berjalannya saja susah harus memakai tongkat, kaki kanannya lumpuh  bisa digerakkan. Kehidupannya kini berubah drastis, tak lagi punya penghasilan, padahal ia harus memberi nafkah istri dan keempat anaknya. Sulasih, tergerak hatinya, melihat Mugi yang tak mampu bekerja. Uang tak ada tapi harus tetap memberi makan pada keluarganya, tak  ada jalan lain selain menghutang.

      Minggu demi minggu telah terjalani, Hutang Mugi makin menumpuk, dan tak mampu membayarnya. .Jeritan kelaparan keempan anaknya, membuat Sulasih harus  bekerja menjadi asisten rumah tangga pak Joko, duda beranak satu. Sehabis  menjalankan sholat dhuhur Sulasih berangkat kerja , membersihkan rumah dan mencuci semua pakaian majikannya. Rumah besar dan mewah yang ditempati dua orang, pak Joko dan Tia, membuat Sulasih keblinger dengan kekayaan dan ketampanan majikannya .

        Waktu yang terus berjalan, benih-benih cinta Sulasih mulai muncul, pak Joko  tak lagi menjadi majikannya tapi kekasih yang sangat dipuja melebihi suaminya. Pak Joko yang wangi, punya usaha rental mobil dan rumah makan, uangnya berjuta-juta, mampu membius Sulasih untuk melupakan suami dan keempat anaknya. Cinta yang membabi buta, membuat Sulasih meninggalkan keluarga kecilnya, menikah dengan Pak Joko yang kaya raya.

             Kesedihan Mugi ditinggal istri yang mendampinginya bertahun-tahun terasa sakit sekali. Anaknya yang sangat memerlukan  perhatian dan kasih sayang ibunya, kini tak     ada lagi. Rengekan si kecil Subagyo, yang rindu bertemu ibunya, dan ketiga anaknya, yang cacat membuatnya harus mampu berdiri. Tak   ada lagi lowongan pekerjaan  yang bisa menerima kondisinya. Mugi menyadari keterbatasan,  tak mampu bekerja, hanya mengharap belas kasihan orang yang memandangnya. Mugi hanya mampu menanti sang fajar, yang akan menerangi kehidupaannya dan keempat buah hati tercintanya.  

 

Surabaya, 3 Juli 2022

           

             

             

 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

SANG PENDOSA

AYAH, MALAIKAT TAK BERSAYAP

IBU, SI PEMBUKA PINTU SURGA