Juminten , Penghuni Jembatan Merah
Jembatan merah, menyimpan sejarah pertempuran
sengit yang terjadi di Surabaya pada 10 November 1945 tak bisa dilupakan begitu
saja. Bahkan, Jembatan Merah yang jadi salah satu lokasi peperangan masih
berdiri kokoh hingga saat ini. Jembatan merah menjadi saksi bisu perjuangan
para pahlawan Indonesia dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI.
Jembatan merah dengan pernak-pernik lampu dan pagar
yang mengelilingi jembatan bercat merah darah, menyimpan sebuah peristiwa
pilu. Juminten penghuni (mahluk astral ) yang tewas mengenaskan, di tangan
penjajah Belanda. 76 tahun yang lalu, Juminten, yang lagi hamil besar diseret
lalu di ikat, bersama suaminya dan diekskusi oleh beberapa orang suruhan,
karena tidak mampu membayar pajak yang tinggi.
Terik matahari, dengan suhu panas yang
menyengat tubuh, Juminten dan suaminya diikat
tangan dan kakinya, menjadi tontonan warga. Penjajah Belanda yang sangat kejam,
menjadikan pasangan Juminten dan suaminya menjadi contoh agar warga membayar
pajak tinggi tepat waktu , dan mereka takut hukuman yang dierima bila tidak membayar .
Mulanya, suami Juminten ditembak dengan puluhan peluru oleh beberapa orang
suruhan penjajah Belanda. Juminten berteriak keras ketika timah panas menembus
badan suaminya. Air mata yang jatuh, tak mampu membuat orang-orang suruhan itu
berhenti, dan mengasihi Juminten, yang
lagi hamil besar. Sebilah pedang terhunus di leher Juminten, dengan satu
hentakan telah memutuskan kepala dan badan.Kepala Juminten tergelinding masuk
ke dalam air bawah jembatan dan tenggelam . Teriakan histeris oleh warga yang
tak mampu melihat aksi kebiadaban
orang-orang suruhan Belanda.
Arwah Jumunten tak terima dengan kekejaman yang
mereka lakukaan sampai dia terbunuh. Arwah
Juminten menuntut balas.
Setiap malam jumat, arwah Juminten gentayangan mencari orang-orang yang membunuh suami dan
dirinya. Pencarian para pembunuh, menuai hasil. Satu per satu mereka di bantai
oleh arwah Juminten sampai tewas, dengan kepala yang terpisah dari badan, sama persis
ketika mereka membantai Juminten. Kematian orang-orang suruhan Belanda telah
terdengar dari setiap sudut kampung jembatan merah. Kematian mereka membuat dendam
Arwah Juminten telah terbalaskan.
Penampakkan arwah Juminten, terlihat juga oleh para warga sekitar jembatan. Arwah Juminten, datang tanpa kepala, dan
perutnya yang membuncit, berbaju putih berjalan tanpa arah, hanya suara yang
terdengar keras.
“Kembalikan kepalaku !, hi, hi, hi, hi.
Suara itu terdengar berulang-ulang, membuat para
warga takut melihat penampakkan arwah Juminten.
Surabaya, 14 Juni 2021
Komentar
Posting Komentar